Catatan Seorang Isteri

Sebelum menikah, selain kriteria Taqwa, saya tidak punya kriteria khusus untuk calon suami saya nanti. Karena saya menyadari bahwa saya bukanlah wanita yang sempurna untuk dijadikan isteri, terutama untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Maka saya amat sangat bersyukur pada Allah ketika Dia mengirimkan Lelaki Surga yang penyabar dan pengertian untuk saya.

Lelaki Surga itu tersenyum dan memandang saya penuh cinta ketika pada malam pertama kami, dengan jujur saya mengatakan bahwa saya tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh dua orang pembantu.

“Biar si bibi yang kerjakan”

Begitu kata Bunda bila kami anak-anaknya ingin mencuci piring bekas makan kami sendiri. Maka saya pun menjadi terbiasa “terima beres”. Pakaian tinggal pakai, sudah bersih, rapi dan wangi. Mau makan, tinggal ambil di meja makan. Mau minum hangat atau dingin, pembantu yang membuatkan. Setiap hari pembantu akan bertanya minuman atau makanan apa yang saya ingin dibuatkan. Sekali-sekali saya ke dapur membantu memasak, hitung-hitung sekalian belajar, tapi sedikit saja salah, Bunda akan mengusir saya dari dapur. Aneh memang, bukannya mengajarkan cara memasak yang benar, saya malah diusir dari dapur.

Dengan bicara jujur pada suami, saya berharap ia mempersiapkan kesabaran dan pengertian yang lebih bila nanti, saya memasak makanan yang tidak sedap di lidahnya atau rumah kami menjadi kurang indah dalam penglihatannya.

“Nanti adek kan bisa belajar…” Ujar suami setelah mendengar penuturan saya. Tak ada raut kekhawatiran di wajahnya bila nanti saya tidak dapat mengurusnya dengan baik.

Belajar. Itulah yang harus saya lakukan. Manusia memang tidak boleh berhenti belajar. Belajar, tidak hanya di bangku kuliah, tapi juga di universitas kehidupan. Dan sekaranglah saatnya saya belajar di kehidupan rumah tangga, yaitu belajar menjadi isteri sholehah…

Proses belajar pun dimulai. Pekerjaan mencuci, membenahi rumah, menyetrika, ke pasar, memasak, menguras kamar mandi, semua saya lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, hanya suami yang sesekali membantu disela-sela kesibukannya. Setiap hari selalu ada sayatan luka baru di jari jemari saya. Tubuh mulai mudah masuk angin. Rasa perih, ngilu, pegal-pegal, kaku, kerap menghinggapi telapak tangan saya. Tapi jika mengingat betapa Allah sangat menghargai apa yang seorang isteri lakukan untuk suaminya, tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh, apalagi menyerahkan tugas-tugas itu kepada pembantu, rugi rasanya.

Setelah delapan bulan menikah. Hmm..lumayan juga hasilnya. Pakaian suami selalu rapi dan berbau wangi. Rumah kontrakan kami selalu bersih, lantainya selalu mengkilap. Pemilik rumah kontrakan tidak lagi harus turun tangan menggosok lantai kamar mandi karena saya sudah dapat melakukannya sendiri. Setelah beberapa kali dicontohkan secara tidak langsung oleh pemilik rumah, barulah saya tahu cara menggosok lantai kamar mandi yang baik dan benar.

Soal masak? Suami bilang saya sudah lebih pandai memasak. Tidak percuma ia rajin membelikan tabloid khusus resep masakan untuk saya pelajari. Tapi tentu saja saya tidak boleh merasa puas. Saya masih harus terus belajar dan belajar.. Mungkin ini lah salah satu rencana Allah menunda menganugerahkan kami seorang anak. Dia Maha Mengetahui kapan saat yang terbaik bagi kami untuk mendapat amanah seorang anak. Saat dimana saya telah menjadi isteri yang baik dan telah siap kembali belajar untuk menjadi Ibu yang baik…Tetap Semangat ! (chy-kh)



Bookmark and Share

Catatan dari Buku Catatan Hati Seorang Istri

Dari judulnya saja buku ini menarik hati saya untuk membacanya. Usai ‘Ngaji’ di Masjid Kampus UGM, di Pelataran masjid saya melihat buku ini.
"Berapa harganya, Pak?"
"39 ribu diskon jadi 31 ribu, Mbak. Itu buku terbarunya Asma Nadia", jawab bapak penjual.
Saya meletakkan kembali buku tersebut.
"Mahal amat. Beli di kawasan taman pintar mungkin lebih murah.", ujar saya dalam hati.
Tiga hari setelahnya, saya mengajak suami ke kawasan taman pintar untuk mencari buku karya Mbak Asma Nadia itu. Suami memang telah menyisihkan uang khusus untuk membelikan saya buku sebagai wujud dukungannya pada saya menjadi penulis.

Tiba di kawasan taman pintar, saya segera mencari kios buku langganan saya. Buku Catatan Hati berdiri manis di deretan buku terdepan, memudahkan saya untuk menemukannya tanpa bertanya pada si penjual. Tawar menawar pun terjadi, tidak berjalan a lot karena saya sudah menjadi langganan kios itu, harga pun disepakati, 25.000 rupiah !. Saya kegirangan, layaknya anak kecil saya memegang tangan suami dan menjerit pelan dengan ekspresif.

"Mas, lebih murah dari masjid kampus, di sana 31.000 rupiah, di sini 25.000!"
"Dua puluh enam ribu, Dek sama parkir" sahut suami kalem.
"O,iya..tapi tetap lebih murah"

Suami lantas mengambil sepeda motor di parkiran dan membayar parkir 1000 rupiah. Belum satu meter motor berjalan… suami berhenti, merasa ada yang aneh dengan motornya ia melihat ke belakang, rupanya bannya bocor !. Syukur-lah tidak jauh dari situ ada jasa tambal ban. Sembari menunggu, saya membaca buku.

Dua puluh menit kemudian, selesai sudah ban ditambal, suami mengambil motornya dan membayar.
"Berapa, Mas?" tanya saya pada suami dengan berbisik.
"Lima ribu. Tuh kan, harga bukunya jadi sama saja, 31.000". ujar suami seraya menjalankan motornya perlahan.
Saya tertegun dan menghitung-hitung, benar juga! Yaah… maunya untung, malah…

***
Buku Catatan Hati memang apik! Buktinya, setelah buku ditangan saya, mata saya tak ingin lepas sebelum selesai membacanya. Di atas motor menuju pulang, saya asyik membacanya dengan penerangan lampu-lampu kendaraan yang lalu lalang (beli bukunya malam hari), setiba di rumah membuatkan suami minuman, buku itu masih menemani saya, sesekali saya membacakannya untuk suami.

Catatan-catatan hati di dalam buku itu membuat saya teringat pada penderitaan yang sama yang di alami perempuan-perempuan disekeliling saya, salah satunya pada catatan yang oleh Mbak Asma di beri judul : Sebab Aku Berhak Bahagia. Oh, Mirip kisah Bude saya! Bedanya, Bude hingga sekarang masih tetap bertahan, tak ada perceraian meskipun anak-anak Bude (sepupu saya) sudah menikah dan sukses. Mengapa..? Karena Bude berprofesi hakim agung yang tugasnya mengetuk palu memberi keputusan. Harga dirinya terlalu tinggi jika suatu hari ia duduk di tempat sebaliknya, di kursi pesakitan menunggu hakim mengetuk palu pada seorang hakim!

Ah, coba Mbak Asma lebih banyak lagi menguak catatan hati isteri yang lain. Karena khususnya untuk yang mengalami hal yang serupa dapat membuka mata bahwa mereka tidak sendirian, juga menjadi lebih berani untuk merengkuh kebahagiaan yang menjadi hak mereka. Dan bagi isteri yang bahagia dengan pernikahannya dapat lebih bersyukur lagi pada Allah.
Saya juga, usai saya membacanya, saya memeluk suami mesra dan mencium keningnya, dalam hati bersyukur pada Allah, tapi lisan berkata, "Sayang…jangan seperti suami-suami dibuku ini yaaa…"



Bookmark and Share

Surat Untuk Sahabat

Teruntuk : Sahabatku

Di Bumi Allah



Bagaimana kabarmu sahabatku…? Telah lewat empat minggu kau tidak menghiraukanku. Sapaku tak kau balas, pesan-pesan singkatku tak kau jawab. Sejujurnya, aku kangen. Pada kebersamaan kita, pada canda tawa kita, pada perhatian dan kebaikan hatimu juga pada cerita-cerita sedihmu. Adakah kau merasakan rindu yang sama, sahabat…? Bila kau merindukannya, bukalah hatimu untuk memaafkanku, bila kau tidak, maka kau harus memaafkanku demi cintamu pada Yang Maha Pemaaf. Bukankah kau sangat mengetahui bahwa Dia membenci umat yang memutuskan silaturahim…? Empat minggu telah berlalu…sedang Rasul-mu memberi batas waktu tiga hari saja.

Sejak sms terakhirku, sikapmu berubah padaku. Sejak itu pula aku terus bertanya-tanya.

“Apakah sebuah kesalahan bila aku ingin menjadi cermin bagi dirimu, sahabatku…?”

Barisan kalimat yang kurangkai dengan sayang, semata ingin agar kau bangkit dari keterpurukan, membalut luka, menghapus air mata, untuk kemudian melangkah dengan kelapangan dada.

“Sahabatku, sekarang bukan lagi saatnya kau terus bertanya, mengapa ia begini? Mengapa ia begitu? Bertanya mengapa hanya akan menimbulkan prasangka-prasangka. Biarkan proses ta’arufmu berakhir dengan indah, dengan ucapan maaf dan terima kasih. Sekarang saatnya kau bertanya, apa yang akan kau kerjakan untuk hidupmu sementara jodoh itu belum datang…”

Ah, sahabatku…aku memang tak cukup arif untuk memberimu nasihat. Mungkin seharusnya aku tetap menjadi pendengar yang baik dan motivator bagimu. Tak sepatutnya aku menasihatimu di saat kepercayaanmu padaku belum lagi pulih. Yah…walau kau coba menguburnya jauh di dasar hatimu, aku dapat merasakan kepercayaan itu tidak mudah untuk kau hadirkan kembali setelah konflik yang terjadi di antara kita dua tahun yang lalu…

Malam itu, usai waktu maghrib, kau menangis di hadapanku, meluapkan seluruh perasaanmu dengan emosi yang tidak dapat kau kendalikan lagi. Kau marah, takut, kecewa dan sedih yang amat sangat…terhadap dosen pembimbing skripsimu yang menurutmu “killer”, suka membentak, dan mengolok-olok mahasiswanya. Kau mengaku selalu ketakutan bila akan menghadapnya dan berurai air mata usai menghadapnya. Ucapan beliau selalu menyakitkan hatimu.

Sahabat, kita mempunyai dosen pembimbing skripsi yang sama, namun apa yang kau rasakan terhadap beliau tidak pernah kurasakan. Aku tahu kenapa, karena kau mempunyai perasaan yang sangat ‘halus’. Kau sangat mudah mengeluarkan air mata (Itu telah kau akui), marah, sedih, kesal, kecewa, bahkan merasa bahagia pun kau menangis. Sering, penerimaanmu negatif pada ucapan orang lain. Ini yang kadang membuatku serba salah di hadapanmu, aku harus super hati-hati memilih kata-kata yang tepat agar dapat kau terima tanpa tersinggung dan berurai air mata. Dengan perasaan ‘halus’ seperti itu, aku dapat memahami bila kau mengaku trauma kembali menghadap dosen untuk konsultasi. Rasa takut itu ternyata terus membayangi langkahmu, menguasaimu hingga kau memilih menunda-nunda penyelesaian skripsimu.

Sahabatku, melihat air mata yang membanjiri pipimu malam itu membuat hatiku tesayat-sayat, betapa inginnya aku mengurangi bebanmu, membantumu kembali berpijak hingga sukses kau raih. Maka otakku pun bekerja mencari jalan keluar. Kemudian, sebuah solusi kutemukan.

***

Bapak (begitu kita menyebutnya) tertawa tak percaya begitu kuceritakan permasalahanmu. Beliau tak menyangka bila ada mahasiswa yang merasa bermasalah dengannya. Bapak memang seorang dosen yang bisa dikatakan dekat dengan mahasiswa, dan sangat perhatian dengan mahasiswa bimbingannya, bukan itu saja, beliau juga suka menolong mahasiswa dengan caranya sendiri yang mahasiswa itu tidak menyadari bahwa ia sedang ditolong Aku sedikit menyesalkan, mengapa kau tidak dapat mengabaikan kekurangan bapak yang kau katakana suka membentak, menyinggung perasaan orang lain dengan mengolok-olok? Bukankah melihat pada kebaikannya akan menjadikanmu merasa lebih baik…?

“Aku sudah berusaha mengingat kebaikan-kebaikan bapak, tapi tetap saja aku merasa sakit dengan sikap dan perkataannya…”

Baiklah kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu untukmu, sahabat. Melepaskanmu dari rasa takut dan sakit itu, juga membantu bapak agar ia menyadari, ada hati yang terdzolimi oleh sikap dan perkataannya, hatimu sahabat…

“Kalaupun saya marah, itu bukan dari hati. Saya marah hanya di mulut saja, setelah itu ya sudah, saya lupakan”. Begitulah bapak menyatakan argumennya.

Aku mengerti. Sebagaimana dengan bapak, aku pun mempunyai karakter marah yang hampir sama. Aku akan menangis bila marah, air mataku tak mampu ku tahan. Bila telah menumpahkan seluruh hatiku dan semua alasan yang membuat aku marah, aku akan kembali tersenyum bahkan tidak ingat lagi dengan kemarahanku. Aku pun jadi lebih sayang pada orang yang membuatku marah sebagai tebusan rasa malu dan penyesalan atas kemarahanku.

Tapi tentu saja tidak setiap orang mempunyai karakter marah yang sama. Ada orang yang tidak mudah marah namun bila marah, sangat sulit untuk reda. Ada pula yang tidak mudah marah, mudah pula redanya. Dan ada kau, yang setiap kali marah lebhi suka memendamnya, bila terusik sedikit saja akan meledak seperti bom waktu. Maka dengan hati-hati kukatakan pada bapak.

“Ada sebagian orang yang perasaannya sangat ‘halus’, sehingga intonasi bicara bapak yang memang seperti itu diterima sebagai bentakan, gurauan bapak diterima sebagai olokan. Teman saya ini mempunyai perasaan yang sangat halus, mungkin bapak bisa sedikit merubah cara bicara bapak di depannya, supaya dia tidak takut lagi menghadap bapak…”.

Sahabatku, setelah pembicaraan itu, aku yakin sekali bapak akan berubah sikap, setidaknya di depanmu. Aku percaya, sebagai seorang pendidik tentu beliau tidak ingin anak didiknya gagal hanya karena takut padanya. Tapi alangkah terkejutnya aku ketika kata-kata ketus keluar dari mulutmu.

“Teganya kamu cerita masalahku ke bapak! Bapak itu karakternya memang seperti itu, sampai kapan pun dia tidak akan berubah!”.

Sahabat, seingatku aku telah meminta ijinmu, mungkin kau lupa sehingga reaksimu sedemikian berang. Wajahmu merah padam, sempat tersorot kebencian di matamu. Tiba-tiba aku merasa, setelah ini kau tidak akan mempercayai aku lagi…

***

Sahabat, dua tahun kemudian kau bercerita padaku, sejak peristiwa itu sikap bapak berubah. Bapak sangat ramah bila kau datang menghadapnya, beliau juga menurunkan emosinya segera begitu melihatmu datang, walau sebelumnya beliau tengah memarahi mahasiswa ‘bandel’ yang tidak mengikuti arahannya. Kau tidak harus takut dan menangis lagi, kau bisa berkonsultasi dengan nyaman, dan kau pun akhirnya dapat menyelesaikan skripsimu dengan nilai A.

Diam-diam aku bersyukur…

Namun, rasa sakit itu masih tersisa di hatimu. Kau masih mengungkitnya dan menyalahkan aku…

***

Sahabatku sayang…

Suatu hari, seorang sahabat berkata pada Rasulullah. “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai si Fulan”. Sahabat itu menunjuk pada seorang laki-laki yang berada tidak jauh dari tempatnya dan Rasulullah berdiri. Mendengar perkataan sahabat, Rasulullah menyuruh sahabat itu untuk mengatakan rasa cintanya itu kepada si Fulan.

Aku tak cukup punya keberanian untuk mendatangimu dan mengatakannya, sahabat… Lidahku selalu terasa kelu untuk mengatakannya. Maka biarlah goresan pena ini yang menyampaikannya padamu.

“Sahabat, aku menyayangimu karena Allah”

Dan rasa sayang itulah yang mendorongku untuk berjanji pada diriku sendiri ketika kau mengeluh padaku.

“Mengapa teman-teman yang sudah menikah sekarang jadi cuek, tidak peduli lagi pada keadaan saudaranya…?”.

Saat itulah aku berjanji dalam hati, bila saatnya aku menikah nanti, aku akan tetap peduli pada teman-temanku, Memberi ruang pada mereka di hatiku, dan selalu ada bila mereka membutuhkanku. Karena boleh jadi, pernikahan diijinkan Allah terjadi disebabkan oleh do’a saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita, yang dengan ketulusan mereka telah mampu membuka pintu langit. Allah mendengar, dan mengabulkan do’a mereka, kemudian mengirimkan jodoh untukku juga untukmu…

Untuk itulah sahabatku, sebisa mungkin kuluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhanmu, bahkan terkadang aku terlalu ingin menyelam jauh ke dasar hatimu, yang kau tanggapi dengan dingin.

“Jangan kira kamu mengerti tentang aku”.

Kau benar sahabat, delapan tahun belumlah cukup untuk aku dapat mengerti dirimu…karena itu, ijinkan aku tetap di sisimu untuk berusaha lebih keras lagi belajar mengerti…Ijinkan aku membayar janjiku…

Sahabatku, maafkanlah aku, bukalah hatimu untuk kembali mempercayaiku, untuk kembali merajut persahabatan yang indah seperti dulu…


Dariku,
Sahabatmu





Bookmark and Share
 
Dear Diary Blogger Template