DONAT

Siapa yang tidak tahu Donat ?
Kue yang mempunyai ciri khas bolong di tengah ini dapat dipastikan pernah dicicipi oleh setiap manusia di dunia. Dihidangkan pagi hari sebagai sarapan atau sore hari bersama keluarga dengan secangkir teh hangat, mmm enaaak…!

Apa yang saya nikmati dari kue donat bukan hanya “rasa” dan “kenyang” nya saja, namun lebih dari itu, ada persahabatan, cinta dan pengorbanan, silaturahmi, serta pelajaran yang berharga.

***

Persahabatan

Berawal dari suami yang meminta saya dibuatkan donat. Katanya pada saya,

“ Dek, bisa nggak buat donat ? Buatin, dong…”

Walaupun saya jawab dengan gelengan kepala, tapi permintaan yang di telinga saya terdengar sebagai tantangan itu membuat saya bertekad untuk belajar.

Pilihanpun jatuh pada sahabat saya, sebagai guru dalam mempelajari cara pembuatan kue donat. Sahabat saya sangat hobi membuat kue, saya pernah mencicipi kue-kue buatannya, dari nastar, brownies, black forest, dan tentu saja, donat. Rasanya ? Mak Nyusss…!

Akan tetapi, telah beberapa lamanya hubungan persahabatan kami menjadi renggang, dingin, dan kaku. Saya pun mulai mencoba mencairkannya kembali dengan bertanya soal kue dan memuji kue-kue buatannya, sahabat saya menanggapi dengan antusias, obrolan pun mengalir, kekakuan terkikis, diujung pertemuan sahabat saya berjanji akan mengajarkan saya membuat kue donat.

Kami berbelanja bahan-bahan donat bersama, di rumah saya kami olah bahan-bahan itu sambil saling bercerita dengan diselingi senda gurau. Hubungan persahabatan yang sebelumnya dingin pun kembali hangat. Dengan perantaraan donat persahabatan kami terikat kembali.


Cinta dan Pengorbanan

Saya mau buka rahasia. Jangankan membuat donat, mengolah masakan sehari-hari saja saya masih harus bolak-balik SMS ibu mertua, ibu saya, dan kakak perempuan saya.

“Apa saja bumbu sayur asam, bagaimana cara membuatnya ?”

SMS saya suatu hari pada kakak saya.

Ketika sahabat saya menyebutkan satu persatu bahan-bahan donat, saya hanya mengernyitkan kening, bingung. Jalan terbaik adalah dengan memboyong sahabat saya ke Supermarket agar menunjukkan langsung pada saya apa saja bahan-bahan donat yang dia maksudkan.

Pembuatannya walau dikatakan sebagai pembuatan kue yang paling sederhana, tapi bagi saya tetap saja ada perjuangan di dalamnya. Lelah ? Jelas… Sabar ? Harus…Namun bila dikerjakan dengan membayangkan wajah gembira orang yang akan menyantapnya, kelelahan dan ketidaksabaran serta merta lenyap ! Berganti dengan semangat !

Donat telah melahirkan rasa pengorbanan karena atas permintaan suami tercinta saya rela susah payah belajar demi untuk mempersembahkan yang terbaik untuknya atas nama cinta dan kasih sayang (Cieee…).
Silaturahmi

Dari 500 gram bahan donat, saya bisa menghasilkan sekitar 25 buah donat. Jumlah yang akan membuat “mabok” bila dimakan hanya berdua dengan suami. Maka saya pun membaginya dengan tetangga. Sebagai ibu rumah tangga baru, tetangga baru, dan pendatang baru, saya sedikit bingung harus memulai darimana untuk bisa menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dengan menghantarkan sepiring donat pada tetangga, saling hantar-menghantar makanan pun terjadi. Dimulai dari donat buatan saya sendiri saya pun jadi lebih mengenal dan lebih dekat dengan tetangga.

Pelajaran Berharga

Suatu pagi ketika saya tengah membeli lauk matang pada pedagang keliling langganan ibu-ibu perumahan, seorang Nenek, yang cucunya adalah murid saya di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Masjid Perumahan, menyapa saya dengan penuh keakraban.

“ Mbak yang ajak cucu saya buat donat, ya ? Donatnya enak sekali ! Saya sueneng ada kegiatan yang baik untuk cucu saya. Diteruskan ya, Mbak ! Dua atau tiga minggu sekali anak-anak diajarkan buat kue !”

Hi…hi…hi…padahal saya baru bisa buat satu kue, yaitu donat !

Tapi kejadian pagi itu membuat saya tertegun. Rupanya ajakan saya pada anak-anak untuk membuat donat bersama menyimpan kesan yang mendalam di hati mereka. Semoga saja pendidikan dan pelajaran yang saya selipkan diantaranya sampai pula di hati mereka, diingat hingga mereka dewasa nanti, tidak penting mengingat “siapa” yang memberi pelajaran itu.

“Ibu punya kejutan buat kalian”. Ujar saya pada anak-anak.

Sesaat saya biarkan mereka riuh menebak kejutan yang akan saya berikan.

“Kita…akan…buat…donat bareng !!”

Sontak mereka berteriak kegirangan.

Suasana rumah saya yang biasanya lengang karena hanya dihuni oleh saya dan suami mendadak begitu ramai dengan celoteh anak-anak. Selama membuat donat mereka terus bercerita tentang teman mereka yang begini dan begitu. Saya berhenti sebentar dan menyuruh mereka diam, saya ajak mereka berlomba, siapa yang tahan paling lama untuk diam, tidak bicara dalam hitungan ketiga, Mulai ! Hasilnya ? Belum masuk hitungan menit mereka sudah tidak tahan untuk tidak bicara.

“Nggak enakkan kalau kita nggak bisa bicara ? Maka dari itu kita harus bersyukur karena kita bisa bicara, tidak bisu! Bagaimana cara kita bersyukur ? Mulut kita tidak digunakan untuk membicarakan kejelekan teman-teman kita…”

Anak-anak sesaat saling menuduh, saling menunjuk satu sama lain, tapi kemudian kompak menyetujui ucapan saya. Acara membuat donat pun dilanjutkan tetap dalam keceriaan.

Saya memberikan anak-anak kesempatan memasukkan bahan-bahan yang saya sebutkan satu persatu ke dalam wadah. Judulnya saja “Membuat Donat Bersama” jadi saya harus melibatkan mereka dalam pembuatan donat.

“Bu, bikin donat itu harus sabar, ya…“ Ujar salah seorang anak.

Bagi anak-anak, menunggu hingga donat matang dan mereka dapat segera mencicipi adalah sebuah latihan kesabaran. Setelah adonan jadi dengan girang mereka membuat bentuk donat mereka sendiri, juga menggorengnya sendiri dan kemudian memolesi bagian atasnya dengan coklat.

“Capek kan buat donat ? Nggak gampang ya ? Mulai sekarang, kalian harus lebih menghargai makanan. Kalau dimasakkan Mama harus dimakan dan dihargai karena Mama sudah capek-capek masak buat kalian”. Pesan saya sebelum mereka pulang dengan membawa masing-masing 5 buah donat di tangan, hasil karya mereka sendiri.

Dari satu ilmu membuat donat saya mendapatkan banyak hal, ini merupakan pelajaran yang berharga buat saya untuk tidak berhenti mencari ilmu selama nafas belum berhenti. Manfaatnya akan kita rasakan oleh diri kita sendiri dan dirasakan pula oleh masyarakat, bila kita mau berbagi. (chy-kh)



Bila Aku Disakiti

Temanku bertanya padaku,
“Bagaimana cara menyembunyikan kemarahan dan kekecewaan ?”

Aku tidak mau asal menjawab, aku pun mulai mengingat-ingat apa yang selama ini aku lakukan bila aku disakiti. Maka inilah jawabanku :

Pertama : Memaafkan
Boleh jadi orang yang menyakiti kita tidak berniat untuk menyakiti atau itu tidak sengaja menyakiti, bahkan boleh jadi saat itu kita sedang banyak masalah, kondisi psikologis kita sedang labil atau mungkin kita saat itu sedang bad mood sehingga perkataan atau perbuatan orang lain kita terima negatif. Kalaupun ternyata ia sengaja melakukannya maka berfikirlah ia sedang khilaf, ingat-ingatlah segala kebaikan yang ada pada dirinya, berfikirlah bahwa ia tidak/belum memahami siapa diri kita yang sesungguhnya, atau… boleh jadi kita yang terlebih dahulu menyakitinya ?

Intinya adalah berfikir positif dan introspeksi diri akan membantu kita untuk lebih mudah memaafkan. Kemarahan hanya akan melenyapkan kebahagiaan sedang memaafkan akan selalu mendatangkan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa kita pada kebahagiaan.

Kedua : Bicarakan
Jika kita belum juga bisa memaafkan, kita masih saja sakit hati dengan perkataan atau perbuatannya, kita masih merasa marah dan kecewa, maka bicarakanlah persoalan itu kepada yang bersangkutan, bicarakan dengan hati tenang dan sikap arif. Seperti kita yang mempunyai alasan untuk marah, kesal atau kecewa, pasti ia mempunyai alasan membuat kita dalam kondisi seperti itu. Ungkapkan perasaan kita dan mintalah penjelasan padanya.

Jangan ragu dan takut. Karena melakukan hal ini berarti kita tengah membuat dua kebaikan.
Kebaikan pertama pada diri kita sendiri. Agar kita tidak lagi merasa marah, kesal dan kecewa yang sudah pasti menyebabkan hati kita tidak lagi merasa tenteram, hati kita terjangkiti penyakit, tak lagi bersih dan suci.Kebaikan kedua pada diri orang yang menyakiti kita. Membicarakan artinya kita membantu ia mengetahui kesalahannya sehingga ia dapat memperbaiki diri.

Adalah tidak adil bagi diri kita dan dirinya bila kita memendam kemarahan dan sakit hati sedang ia sama sekali tidak mengetahui. Maka berbuat adillah, bicarakan padanya apa yang kita rasakan atas perkataan dan perbuatannya niscaya hati kita akan menjadi sangat lapang untuk memaafkan sehingga tak ada lagi kemarahan apalagi dendam.

Dengan melakukan dua hal tersebut kita tidak perlu lagi menyembunyikan kemarahan dan kekecewaan. Tak perlu lagi bersandiwara dengan bersikap manis padahal hati kita memendam kekesalan., yang ada hanya ketulusan, ketulusan dan selalu ketulusan atas setiap perkataan dan sikap kita…








Investasi Menguntungkan. Siapa Ikut ?

Tanpa mengeluarkan dana ratusan atau puluhan juta rupiah kita dapat berinvestasi yang dijamin oleh Allah akan membawa keuntungan di dunia dan menyelamatkan kita kelak di akhirat.

Rasulullah SAW bersabda :
“Tatkala anak cucu Adam mati, terputuslah segala amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang senantiasa mendoakannya”.
(HR.Bukhari)

Dari pesan Rasulullah di atas, maka ada tiga investasi yang dapat menyelamatkan manusia di akhirat :
1. Shadaqah Jariyah
2. Ilmu yang bermanfaat
3. Doa Anak Sholeh

Nah, siapa yang mau ikut berinvestasi ?




Tukang Parkir yang Istimewa

Ada yang istimewa dari tukang parkir di pasar tempat saya biasa berbelanja, yang jelas sangat berbeda dengan tukang parkir lainnya. Bila di tempat parkir lain pada umumnya tukang parkirnya tidak ramah. Selain itu tukang parkir juga seringkali asal-asalan dan tidak hati-hati dalam memarkirkan kendaraan, kendaraan jadi lecet-lecet karena berbenturan dengan kendaraan orang lain ketika di parkirkan.

Saya punya pengalaman buruk dengan tukang parkir. Saya di damprat oleh tukang parkir karena tidak sengaja menghilangkan karcis parkir, tidak cukup dengan melihat STNK motor, saya masih di mintai kartu identitas dan di catat pula oleh si bapak tukang parkir disertai omelan yang tidak ada hentinya. Bagus sih, itu artinya tukang parkir tersebut merasa bertanggung jawab atas kendaraan yang diparkirnya, tapi sikapnya itu lho, sungguh tidak mengenakkan! L

Pernah juga saya di mintai uang dengan kasar oleh tukang parkir karena saya membayar jasanya kurang dari yang seharusnya, bukan maksud saya mengambil hak orang lain, tapi saya tidak tahu bila parkir di tempat itu lebih mahal dari biasanya.

Namun begitu masih ada juga tukang parkir baik hati yang saya temui.

Ketika mengambil uang di ATM, saya baru ingat selain uang pecahan Rp 50.000 yang saya ambil dari ATM saya tidak mempunyai uang se rupiah pun! Dengan malu saya meminta maaf pada tukang parkir, dan tukang parkir yang baik hati itu pun memaklumi dengan ikhlas.

Yang paling istimewa dan membuat saya merasa diistimewakan (baca: dihargai) adalah ketika memarkir sepeda motor di pasar tempat saya berbelanja. Ada tiga tukang parkir yang bertugas, ketiganya ramah, sopan dan santun. Begitu kendaraan memasuki gerbang area parkir, mereka siaga menyambut, mengambil alih sepeda motor dari tangan saya dan memarkirkannya dengan hati-hati, saya pun dapat berbelanja dengan tenang. Usai berbelanja dengan barang bawaan yang cukup berat, tukang parkir dengan sigap membantu begitu saya terlihat di gerbang area parkir dan tanpa diminta mempersiapkan pula sepeda motor saya. Bukan itu saja, ketika saya kesulitan menstarter sepeda motor, dengan sopan tukang parkir meminta saya memberinya kesempatan untuk dapat membantu.

Perlakuan demikian tidak hanya diberikan pada pengguna sepeda motor yang umumnya adalah pembeli di pasar itu, tapi juga pada pengguna sepeda “ontel” yang kebanyakan adalah pedagang sayur keliling yang ingin kulakan di pasar tersebut. Sehingga dapat dilihat keramahan, kesopanan dan kesantunan mereka berikan pada setiap orang tanpa memandang “Apa” dan “Siapa”.

Begitu pun dalam menarik uang parkir, (mmm…tidak, seingat saya mereka tidak pernah meminta uang parkir, seringkali saya yang memanggil mereka untuk memberikan upah), mereka dengan ikhlas menerima berapa pun rupiah yang diberikan, tanpa sungutan dan tanpa pelototan. Saya pun merasa senang memberikan upah lebih pada mereka.

Saya jadi teringat gambaran Aa’ Gym tentang tukang parkir. Tukang parkir yang selalu ikhlas melepaskan kendaraan yang dijaganya, karena ia tahu bahwa kendaraan itu bukan miliknya, namun mereka lebih istimewa dari tukang parkir yang digambarkan oleh Aa’ Gym. Mereka tidak hanya ikhlas melepaskan kendaraan yang memang bukan miliknya, tapi juga mampu membuat orang lain merasa dihargai dengan sekecil apapun yang dapat mereka berikan, dan dengan begitu mereka menjadi tukang parkir yang berharga.(chy-kh)

Bookmark and Share





Penjual Lotek dan Bayinya

Kemarin siang sewaktu saya membeli Lotek (makanan sejenis pecel), saya sempatkan ngobrol dengan ibu penjualnya. Seorang ibu muda dengan satu orang anak dan sedang hamil anak keduanya, tapi hari itu saya melihat perut ibu tersebut telah mengempis, ternyata ia telah kehilangan janinnya yang berusia enam bulan, meninggal dalam kandungan. Saya tidak begitu terkejut sebab dari melihat bagaimana si ibu bekerja seharian menjajakan dagangannya di atas kepala dengan berjalan kaki dalam jarak yang jauh padahal dalam kondisi hamil muda, pastinya akan mengancam keselamatan janin di kandungannya, terlebih ia tidak punya cukup uang untuk memenuhi gizi dirinya dan janin yang dikandungnya.

Sebenarnya saya sudah mengingatkan si ibu waktu usia kandungannya 3 bulan agar banyak beristirahat di rumah, tapi jawaban si ibu membuat saya tak mampu berkata-kata,

“Kalo ndak jualan ya ndak bisa makan, saya ini kan orang miskin, Mbak”

Sebuah pilihan yang dilematis, antara uang dan nyawa dirinya atau bayi dalam kandungannya. Jika tidak bekerja, ia dan keluarga tak dapat makan hari ini, tak punya biaya untuk memeriksakan kandungan, terlebih biaya untuk persalinan dan kebutuhan bayi bila lahir nanti, sedang bila berjualan berkeliling resiko berbahaya pada kandungannya dapat terjadi setiap saat.

Amat mudah bagi orang lain memberikan saran, namun tuntutan hidup tak mudah untuk dipenuhi, terkadang memaksa kita membuat sebuah pilihan yang teramat sulit, dengan harapan kesulitan hari ini akan berganti kelapangan di kemudian hari. Saya percaya, si ibu bekerja keras menjajakan dagangan dengan mengusungnya di kepala, berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya bukan karena tak mengkhawatirkan kondisi calon anaknya, namun untuk mengumpulkan uang demi memenuhi gizi bayi dalam kandungannya, memeriksakan kandungannya secara rutin, membiayai persalinan dan memenuhi kebutuhan bayinya nanti. Ini lah ketangguhan seorang wanita dan pengorbanan seorang ibu.(chy-kh)

Bookmark and Share



Tips Bahagia Meski Melajang

Yakini bahwa jodoh adalah rahasia Allah

Jodoh termasuk rejeki yang ditakdirkan Allah buat kita. Bisa jadi jodoh kita datang pada saat yang tepat ketika kita benar-benar siap dan lewat jalan yang tidak disangka-sangka.

Jadilah muslimah yang baik

Tentu banyak amal shalih yang bisa kita kerjakan selama status kita masih melajang. Bayangkan, belum tentu para wanita yang sudah menikah punya kesempatan seperti kita.

Belajar, belajar dan terus belajar

Ada yang bilang, buat apa pendidikan tinggi, nanti laki-laki akan minder. Jangan berpikir sempit. Teruslah belajar. Raihlah pendidikan setinggi mungkin. Selain bermanfaat untuk pengembangan diri dengan semakin tinggi pendidikan kita malah memperluas jaringan pertemanan dan relasi sosial.

Sibuklah dengan kegiatan sosial

Sibukkan diri kita dengan kegiatan-kegiatan sosial, manfaatkan ilmu kita untuk berbuat yang terbaik. Jangan sungkan untuk ikut kegiatan TPA atau majelis taklim. Jadikanlah diri kita muslimah yang menebar manfaat, menggali potensi dan menjadikannya ladang amal.

Menekuni hobi bukan sampingan lagi

Tentu kita bahagia jika menekuni hobi kita. Apa saja hobi yang kita minati semisal, membuat kue, membuat handycraft, mengajar bahasa inggris untuk anak-anak, fotografi dan lain-lain. Kepuasan diri dan rasa bahagia akan membuat kita lebih positif lagi memandang hidup. Apalagi jika ternyata hobi itu mendatangkan keuntungan ekonomis.

Mulailah hari dengan senyuman

Agar orang lain tidak menganggap wanita lajang sering terlihat bete’, maka mulailah hari dengan senyum yang tulus. Pun ketika kita dirundung masalah, senyum akan menjernihkan hati dan menyenangkan jika dipandang.

Bahagialah sekarang juga

Kok bisa ? Tentu saja. Bandingkan orang yang lebih menderita dari kita. Kita memang tidak memiliki segalanya tapi kita masih punya hal yang bisa memperkaya batin kita dengan hidup dalam cahaya hidayah, istiqomah dan merasakan manisnya iman dan islam. Jadi, mulailah bahagia tanpa syarat sekarang. Jangan di embel-embeli dengan pencapaian duniawi seperti, saya akan bahagia kalau punya banyak uang dan lainnya. Jika kita melakukan itu kita akan menunda kebahagiaan kita sendiri, selamanya.

Sadarilah hidup ini bukan hanya untuk menikah dan punya anak
Banyak pekerjaan lain seperti mengurus anak yatim, anak jalanan. Masih banyak hal baik lainnya yang bisa dilakukan dan pahalanya bisa berlipat-lipat jika kita ikhlas.
Carilah komunitas positif dimana kita bisa mengembangkan diri
Inilah pentingnya satu komunitas. Misalnya kalau kita tertarik mengasah kemampuan di bidang tulis menulis maka bergabunglah ke komunitas itu. Dengan adanya komunitas, potensi diri kita akan lebih terasah dan kepuasan batin sudah pasti bisa kita peroleh.

Berbagilah dengan sahabat

Teman yang ada saat kita kesulitan adalah teman yang sesungguhnya. Maka janganlah ragu untuk berbagi dengan sahabatmu.

Optimislah dalam memandang hidup

Jika kita optimis otomatis hati kita akan tenang. Jika kita bersabar, Allah pasti kan memberikan yang terbaik.

Bukalah gembok diri

Jangan katakan I’m not ok. Itu adalah gembok yang membelenggu diri kita dari dalam. Sedangkan jika diberi nasihat oleh teman, kita enggan dan berkata, You are not ok. Orang beriman bukanlah orang yang pesimis, tapi mereka sanggup melihat mutiara walaupun dalam kegelapan. Orang yang beriman bisa tidak akan sampai pada tahapan frustasi. Yakinlah, selalu ada kebaikan di tiap peristiwa yang kita lalui.

Lakukan hal yang menyenangkan

Ayo rasakan bagaimana lembutnya kain sutera, lembutnya es krim di lidah kita, indahnya burung berkicau, jangkrik mengerik, langit biru, bulan bersinar, angin menjamah tubuh kita. Hidup ini indah, teman. Jangan sia-siakan.

Berikhtiar dengan benar

Jika kita memang berikhtiar mencari jodoh, bersikap asertif dengan menanyakan dan meminta lewat teman tentang satu laki-laki shalih tidak salah sama sekali. Juga mencoba lewat biro jodoh islami.

Percayalah pada kekuatan doa lalu bersabarlah

Percayalah, doa itu akan menghilangkan kesulitan dan memudahkan semuanya. Rajin-rajinlah titip doa pada orang shalih atau orang yang akan pergi ke tanah suci. Jika ada teman yang menanyakan kapan kita akan menikah, jawablah doakan saya ya ? semakin banyak yang mendoakan kita mungkin saja akan terkabul. Kemudian bersabarlah. Bersangka baiklah untuk jodoh terbaik yang akan datang pada kita. Bersangka baiklah, jika jodoh tak kunjung tiba, mungkin saja Allah mempersiapkan laki-laki terbaik untuk
kita kelak di akhirat.

(Sumber : Majalah Ummi edisi No 3/XVII Juli 2005)



Bookmark and Share


Hikmah dari Sebatang Pohon

Di halaman depan rumah saya terdapat sebatang pohon belimbing. Pohon tersebut selalu berbuah tak kenal musim. Buahnya besar, kuning dan manis rasanya, terasa begitu segar dinikmati saat cuaca panas, sarinya yang melimpah mampu melenyapkan dahaga yang mencekik kerongkongan..

Bukan hanya buahnya, batang pohonnya yang kokoh dengan dedaunan yang rimbun dijadikan sebagai tempat berteduh bagi para pedagang yang letih menjajakan dagangannya. Angin yang meniup dedaunannya menghadirkan suasana sejuk bagi mereka yang beristirahat di bawahnya. Saya lantas berfikir, berapa banyak pahala yang mengalir bagi orang yang menanam pohon itu. Buah dari pohon itu seakan tak habis-habis untuk dinikmati oleh orang banyak, dari buah belimbing yang saya bagikan pada tetangga, menjadi jalan untuk membangun silaturahmi. Dari rimbunnya dedaunan, menjadi tempat para pedagang berhenti sejenak, dan tempat bermain yang asyik bagi anak-anak. Dari sebatang pohon di halaman depan rumah, menjadi ladang amal buat saya.

Namun belakangan, saya mulai mengeluh dengan daun dan buahnya yang berjatuhan mengotori halaman rumah. Saya harus beberapa kali dalam sehari menyapu halaman. Pagi-pagi halaman sudah kotor oleh daun dan buah busuk yang berjatuhan, belum lama setelah disapu, halaman sudah kotor lagi, begitu seterusnya. Uh, capek rasanya. Tetangga pun mengeluh karena halaman rumah mereka ikut kotor. Mereka harus mengeluarkan tenaga lebih untuk sering menyapu agar lingkungan perumahan tempat tinggal kami selalu terlihat bersih.

Demikianlah tabiat dasar manusia, suka berkeluh kesah. Saat ditimpa sedikit saja kesulitan, kita berkeluh kesah dan lupa akan semua kelapangan, kesenangan dan kenikmatan yang telah kita rasakan. Lupa dengan segar dan nikmatnya buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut. Lupa dengan kesejukan angin yang dihadirkan oleh lambaian dedaunannya. Padahal, rasa letih dan susah payah menyapu halaman tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang telah diberikan oleh pohon tersebut. Dan lagi, sedikit kepayahan dan keletihan itu tidak lain adalah untuk kebaikan kita sendiri, yaitu terhindar dari penyakit yang ditimbulkan oleh sampah.

Pada segala kenikmatan yang Allah berikan pun seringkali kita lupa. Ketika Allah memberikan sedikit ujian, kita mengeluh dan bertanya, “Apa dosa saya ?, apa salah saya ?”. Padahal bila kita renungkan, kesulitan yang kita hadapi hanya-lah seujung kuku bila dibandingkan dengan beribu-ribu nikmat yang kita dapatkan.

Bila kita mendapatkan kelapangan rejeki dari Allah, maka disaat yang sama ada orang lain yang kesulitan untuk mendapatkan segenggam beras. Seharusnya kita bersyukur.

Bila kita mempunyai pasangan yang soleh/solehah, maka disaat yang sama ada orang lain yang pasangannya tak setia dengan akhlaq yang buruk. Seharusnya kita bersyukur.

Bila kita mempunyai kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, tangan untuk berbuat, tubuh yang sehat, maka disaat yang sama ada orang lain yang tidak memiliki kaki, mata yang buta, tangan yang buntung, tubuh yang tak berdaya karena digerogoti penyakit. Seharusnya kita bersyukur.

Mungkin kita telah bersyukur, segala nikmat yang ada pada diri kita telah kita syukuri, namun seringkali rasa syukur itu lenyap tak berbekas bila Allah memberi kita sedikit ujian, kita lupa bahwa ujian-pun merupakan nikmat dari Allah yang harus kita syukuri. Marah, kesal, berkeluh kesah. Kita merasa orang yang paling tidak beruntung, orang yang paling menderita dan sengsara. Kita tidak menyadari bahwa ujian, sedikit kepedihan, sedikit kesengsaraan dan penderitaan akan membawa kita pada kenikmatan yang lebih besar. Kita akan tahu betapa nikmatnya merasa bahagia, betapa nikmatnya rasa syukur setelah merasakan kesusahan dan penderitaan. Kita akan tahu bahwa ujian yang kita alami adalah antibody yang nantinya akan membuat kita lebih kuat. Dan kita akan tahu bahwa Allah memberikan kita ujian tidak lain adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. (chy-kh)




Bookmark and Share

Tawakkal : Kepada Siapa ?



Bila jiwa tak tersentuh kesabaran dan keikhlasan ketika bertemu kegagalan,
tak ada salahnya kita bertanya pada relung hati kita.
Kepada siapakah aku bertawakkal…?

Pernahkah anda merasa teramat kecewa ketika anda telah berusaha sekuat tenaga namun hasil yang anda dapatkan tidak sesuai harapan…?
Pernahkah anda bertanya-tanya mengapa anda selalu gagal padahal anda telah berusaha dan berusaha?

Jika anda pernah, saya pun pernah. Mungkin pengalaman saya berikut ini dapat bermanfaat buat anda. Semoga.

Masa-masa menyelesaikan kuliah sungguh sangat berat buat saya, bagaikan membawa sepuluh ton karung pasir di atas punggung!.
Jika anda melihat keong yang berjalan dengan sangat lambat ke tempat yang dituju, mungkin begitulah saya.

Bagaimana tidak, setiap kali hasil ujian semester diumumkan saya selalu menemukan nilai D pada 2 hingga 3 mata kuliah. Itu artinya saya harus mengulang kembali pada semester pendek atau semester reguler bersama adik-adik tingkat. Belum lagi mengulang nilai C yang merupakan nilai dominan di KHS saya, untuk menambah jumlah IPK, tentunya. Setiap ada kesempatan untuk mengulang mata kuliah tak pernah saya lewatkan.

Bodoh? Saya yakin tidak. Walau kadang merasa 'bodoh' itu mampir juga di otak saya disaat saya harus mengulang 3 atau 4 kali untuk 2 mata kuliah yang tersulit di fakultas. Tapi saya yakin saya tidak bodoh, apalagi idiot. Saya hanya tidak mampu bersahabat dengan bidang yang saya pilih. Sulit sekali bagi saya memfokuskan diri pada penjelasan dosen di depan ruang kelas. Ketimbang membaca buku-buku kuliah yang tebal, koran dan buku-buku psikologi lebih menarik hati saya. Kerap terjadi, ketika belajar di perpustakaan dengan buku kuliah di tangan, mata dan tangan saya tak sejalan. Buku kuliah ditangan, tapi mata membaca buku-buku lain hingga tanpa terasa waktu berlalu begitu saja.

Begitupun pada saat ujian, untuk mata kuliah diluar bidang saya, saya hanya perlu membaca 2 kali saja untuk bisa memahami mendapatkan nilai yang memuaskan. Tapi bila belajar untuk mata kuliah yang berkaitan dengan bidang saya, jungkir balik, susah payah, mandi keringat bercampur air mata, entah apalagi yang bisa menggambarkan kerja keras saya untuk belajar.
Puncak dari itu semua, disaat jatah semester kuliah telah habis, semester melayang. Di saat itulah puncak kejenuhan dan kelelahan. Jenuh, karena harus mengulang dan mengulang lagi. Lelah, karena dengan pengulangan beberapa kali, saya merasa sudah paham dan telah menguasai mata kuliah tersebut, tapi tetap saja gagal...

Patah semangat? Sering! Terkadang terfikir untuk mundur saja, tapi mengingat saya telah berada di ujung dan hampir tiba di tujuan, mengingat perjuangan saya melangkah setapak demi setapak hingga tinggal sedikit lagi menuju kemenangan, mengingat pengorbanan Ayah-Ibu, biaya yang tidak sedikit yang telah mereka keluarkan, tidak ada pilihan lain, saya harus tetap maju!.

Tapi mengapa kegagalan demi kegagalan begitu akrab dengan saya...? Mengapa nilai D begitu cinta pada saya...?

Ayah selalu menasihati,
"Makanya, jangan malas belajar! Jangan lupa berdo'a, terus tawakkal!" Dan saya selalu berkilah, "Sudah kok...!"

Saya tidak bohong, saya memang sudah belajar keras, apalagi di saat-saat semester melayang ini, di saat Ayah-Ibu mulai rewel bertanya, "Kapan dong lulusnya...?". Begitupun dengan tiap orang yang mengenal saya, selalu menanyakan hal yang sama bila bertemu. Berdo'a? Saya pun sudah melakukannya, dalam tahajud dan dhuha, ditambah dengan berpuasa sunnah. Tawakkal? Bukankah merupakan keharusan bagi kita berpasrah diri pada Allah menyerahkan keputusan terbaik pada-Nya setelah kita berusaha...?

Tak tahan, saya sering menangis bila masih juga menemukan nilai yang sama di KHS saya, putus asa sempat menghampiri. Mengapa?, mengapa?, dan mengapa?.. Akhirnya saya memilih muhasabah diri, mengoreksi ikhtiar dan tawakkal saya. Hingga kemudian saya teringat pada kata-kata yang ditulis di sebuah buku mengenai tawakkal : Hati-hati dengan tawakkal kita. Bukan bertawakkal pada Allah tetapi pada usaha yang kita lakukan.

Betapa sering saya menggerutu bila nilai ujian yang saya dapatkan ternyata tak sebagus yang saya kira, padahal ketika ujian, saya yakin akan mendapat nilai bagus karena saya sudah berusaha keras dengan belajar dan belajar. Mungkin inilah yang dinamakan tawakkal pada usaha...

Tawakkal pada Allah akan melahirkan kesabaran serta keikhlasan dalam menerima apapun keputusan Allah, menerima dan meyakini bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik. Manusia wajib berusaha, Allah jua yang menentukan.

Subhanallah…betapa seringnya saya mendengar dan membaca tentang tawakkal, namun betapa sulit mengaplikasikannya...Terkadang merasa yakin akan memperoleh kesuksesan atas potensi diri namun lupa bahwa Allah adalah Sang pemiilik kesuksesan dan yang memberikan kesuksesan itu. Ujungnya, kecewa, amarah, dan berputus asa bila ternyata kegagalanlah yang menghampiri...

Bangkit dari kegagalan, saya pun memperbaiki tawakkal saya. Hingga detik-detik menjelang pukul 12 siang penutupan yudisium saya memaksimalkan usaha dengan segala daya dan upaya, tak terfikir apapun kecuali berusaha maksimal hingga tetes darah penghabisan, lulus atau tidak lulus biar Allah saja yang menentukan...

Dan...Allahu Akbar! Saya lulus! Rasa syukur yang tak terkira karena telah lewat masa masa ujian intelektual, hati, iman, dan seluruh daya saya selama menjadi mahasiswa. Walau lulus dengan IPK pas-pasan, semoga di mata Allah saya lulus dengan predikat cumlaude, amin! Dan, tidak hanya kelulusan yang Allah hadiahkan untuk saya, tetapi juga sebuah pekerjaan, pada pengajuan lamaran kerja saya yang pertama, sebulan setelah menyandang predikat sarjana. Sungguh, Allah Maha Besar! (chy-kh)



Bookmark and Share

Dimana Bahagia Berada

Adalah seorang Rima, datang mengadu pada sang Ayah dengan membawa segunung beban yang menghimpit dadanya. Di biarkannya air matanya mengalir demi untuk melepaskan sesak yang terus menerus mendera batinnya. Persoalan demi persoalan bagai bayangan yang mengikuti kemana pun ia melangkah. Sebuah pertanyaan mengandung keputus asaan di ajukannya pada sang Ayah,
“Ayah…Di manakah bahagia itu berada? Apakah di langit ke tujuh? Ataukah di Surga? Bila bahagia berada sejauh itu, mengapa orang lain dapat merasakan bahagia sedang anakmu tidak ?”.

Rima tidak sendirian, ada ribuan bahkan jutaan Rima yang putus asa dalam pencariaannya menuju bahagia. Bahkan tidak sedikit yang mengambil jalan pintas menyelesaikan persoalan hidupnya dengan jalan mengakhiri hidup, padahal bunuh diri justru akan menambah berat persoalannya di akhirat, ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di hadapan Sang Pemilik Kehidupan.

Apakah Anda bahagia?

Cobalah pertanyaan itu kita ajukan pada batin kita yang terdalam. Mungkin ia akan menjawab “Ya”, ketika teringat pada perekonomian yang telah mapan, pada kehidupan rumah tangga yang harmonis, pasangan yang baik dan setia, anak-anak yang lucu. Ah… lengkap sudah kebahagiaan anda. Namun coba bayangkan bila semua itu tiba-tiba hilang dari diri anda. Pasangan yang anda cintai mendahului anda menghadap Pencipta-nya, atau… seorang anak anda sakit yang sangat parah!. Mungkinkah anda masih merasakan bahagia…?

Seorang disebut orang yang bahagia bila dalam keadaan senang atau pun susah, lapang maupun sempit ia tetap merasa bahagia. Sedang seorang yang merasakan bahagia hanya ketika kelapangan memenuhi hidupnya, ia adalah seorang yang memiliki kebahagiaan. Bila kelapangan itu berganti kesempitan, bahagia itu akan hilang dari dirinya.

Maka kunci utama menjadi orang yang bahagia adalah dengan menciptakan bahagia itu di hati kita melalui rasa SYUKUR. Ya ! bahagia itu ternyata tidak perlu di cari, namun ia dapat kita ciptakan atau hadirkan di hati kita.

Rasulullah SAW memberikan teladan kepada kita untuk selalu mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai tanda syukur kita. Dengan memaknai “Alhamdulillah” tidak hanya dengan lisan juga dengan hati kita yang sungguh-sungguh meyakini bahwa apa yang terlihat sempit belum tentu sempit, sebaliknya yang terlihat lapang belum tentu lapang.

Kebahagiaan itu tak dapat di ukur oleh apa pun, tidak oleh materi, tidak oleh kecantikan dan ketampanan fisik, tidak pula oleh kedudukan ataupun jabatan. Kebahagiaan itu ada karena rasa syukur terhadap apa-apa yang ada dan tidak ada pada diri kita, pada apa yang ada dan tidak kita miliki. Tak sedikit orang yang tak memiliki harta, hidup selalu dalam kemiskinan dan penderitaan namun ia merasa bahagia. Dan tak sedikit pula orang yang bergelimang dengan harta, jabatan atau ketenaran namun tak sedikit pun merasa bahagia, hidupnya gelisah, stress, kemudian mencari bahagia dengan mengkonsumsi narkoba yang akan memberikannya kebahagiaan sesaat yang semu.

Maka mulailah memaknai “Alhamdulillah” dengan mengingat segala kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada kita. Dia telah memberikan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia memberikan kita udara hingga kita dapat bernafas. Dia memberikan kita mata, hidung, kaki dan tangan. Kita berada dalam kenikmatan yang tiada tara namun sering kita tidak menyadarinya. Seringkali kita menghabiskan waktu kita memikirkan sesuatu yang tidak ada sehingga lupa mensyukuri yang sudah ada. Sesungguhnya yang demikian itulah yang akan menghalangi kebahagiaan itu hadir di hati anda. Dengan mengingat segala kenikmatan yang Allah berikan pada Anda, memaknainya dengan “Alhamdulillah”, dan berbagi kenikmatan pada orang-orang disekitar anda -tidak selalu dengan harta yang anda miliki-, dengan senyum ketulusan, dengan kebaikan pekerti anda, dengan kasih sayang anda pada sesama makhluk, anda pasti akan menjadi orang yang berbahagia lahir dan bathin! (chy-kh)



Bookmark and Share

Karena Dirimu Perhiasan Terindah

Wajah Rahma tersaput kabut. Gelisah hatinya tak mampu ia singkirkan. Meski telah berusaha tak memikirkan sindiran kakak-kakak ipar, namun tetap saja sindiran itu mengganggu perasaannya yang halus.

Belum genap satu tahun Rahma meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Rahma menyusul sang suami yang telah lebih dahulu tinggal di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah suami memperoleh pekerjaan tetap barulah Rahma bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Rahma tinggal bersama keluarga besar suami. Ada banyak kamar di rumah itu, setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Rahma dan gadis ciliknya menempati kamar suami. Hanya kamar sempit itu privasi mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Rahma. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar. Apalagi di saat seperti ini, saat-saat dimana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji suami yang belum lama bekerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Rahma tetap tak berminat menganut gaya hidup demikian.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidakcocokan antara Rahma dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Rahma. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Rahma, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun perhiasan emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.


Semula Rahma tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Rahma hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

"Apakah... Perempuan harus memakai perhiasan....?". Tanya Rahma pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Rahma lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.

"Ada apa, Kak...?". Tanya sang adik penuh perhatian. Rahma menghela nafas berat sebelum menjawab.

"Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena nggak pernah pakai perhiasan...".

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah...".

Rahma terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

"A..Apa, Dik?", Tanya Rahma. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Rahma untuk memperjelas ucapannya.

"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak…jadi kakak nggak perlu sedih karena nggak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah..".

Mendengar perkataan sang adik, wajah Rahma berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.


Rahma tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat.

"Terima kasih, adikku...".

Kakak beradik itu pun berpelukan.


Dunia adalah perhiasan.

Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah




Bookmark and Share

Ajari Aku

Ilahi...
Ajari aku mencintai tanpa berharap dicintai,
Ajari aku memahami tanpa berharap dipahami,
Ajari aku memberi tanpa berharap diberi,

Cukuplah semua itu sebagai rasa syukurku padaMu...

Catatan Seorang Isteri

Sebelum menikah, selain kriteria Taqwa, saya tidak punya kriteria khusus untuk calon suami saya nanti. Karena saya menyadari bahwa saya bukanlah wanita yang sempurna untuk dijadikan isteri, terutama untuk urusan pekerjaan rumah tangga. Maka saya amat sangat bersyukur pada Allah ketika Dia mengirimkan Lelaki Surga yang penyabar dan pengertian untuk saya.

Lelaki Surga itu tersenyum dan memandang saya penuh cinta ketika pada malam pertama kami, dengan jujur saya mengatakan bahwa saya tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah tangga. Memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, semua pekerjaan rumah tangga dikerjakan oleh dua orang pembantu.

“Biar si bibi yang kerjakan”

Begitu kata Bunda bila kami anak-anaknya ingin mencuci piring bekas makan kami sendiri. Maka saya pun menjadi terbiasa “terima beres”. Pakaian tinggal pakai, sudah bersih, rapi dan wangi. Mau makan, tinggal ambil di meja makan. Mau minum hangat atau dingin, pembantu yang membuatkan. Setiap hari pembantu akan bertanya minuman atau makanan apa yang saya ingin dibuatkan. Sekali-sekali saya ke dapur membantu memasak, hitung-hitung sekalian belajar, tapi sedikit saja salah, Bunda akan mengusir saya dari dapur. Aneh memang, bukannya mengajarkan cara memasak yang benar, saya malah diusir dari dapur.

Dengan bicara jujur pada suami, saya berharap ia mempersiapkan kesabaran dan pengertian yang lebih bila nanti, saya memasak makanan yang tidak sedap di lidahnya atau rumah kami menjadi kurang indah dalam penglihatannya.

“Nanti adek kan bisa belajar…” Ujar suami setelah mendengar penuturan saya. Tak ada raut kekhawatiran di wajahnya bila nanti saya tidak dapat mengurusnya dengan baik.

Belajar. Itulah yang harus saya lakukan. Manusia memang tidak boleh berhenti belajar. Belajar, tidak hanya di bangku kuliah, tapi juga di universitas kehidupan. Dan sekaranglah saatnya saya belajar di kehidupan rumah tangga, yaitu belajar menjadi isteri sholehah…

Proses belajar pun dimulai. Pekerjaan mencuci, membenahi rumah, menyetrika, ke pasar, memasak, menguras kamar mandi, semua saya lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu rumah tangga, hanya suami yang sesekali membantu disela-sela kesibukannya. Setiap hari selalu ada sayatan luka baru di jari jemari saya. Tubuh mulai mudah masuk angin. Rasa perih, ngilu, pegal-pegal, kaku, kerap menghinggapi telapak tangan saya. Tapi jika mengingat betapa Allah sangat menghargai apa yang seorang isteri lakukan untuk suaminya, tidak ada alasan bagi saya untuk mengeluh, apalagi menyerahkan tugas-tugas itu kepada pembantu, rugi rasanya.

Setelah delapan bulan menikah. Hmm..lumayan juga hasilnya. Pakaian suami selalu rapi dan berbau wangi. Rumah kontrakan kami selalu bersih, lantainya selalu mengkilap. Pemilik rumah kontrakan tidak lagi harus turun tangan menggosok lantai kamar mandi karena saya sudah dapat melakukannya sendiri. Setelah beberapa kali dicontohkan secara tidak langsung oleh pemilik rumah, barulah saya tahu cara menggosok lantai kamar mandi yang baik dan benar.

Soal masak? Suami bilang saya sudah lebih pandai memasak. Tidak percuma ia rajin membelikan tabloid khusus resep masakan untuk saya pelajari. Tapi tentu saja saya tidak boleh merasa puas. Saya masih harus terus belajar dan belajar.. Mungkin ini lah salah satu rencana Allah menunda menganugerahkan kami seorang anak. Dia Maha Mengetahui kapan saat yang terbaik bagi kami untuk mendapat amanah seorang anak. Saat dimana saya telah menjadi isteri yang baik dan telah siap kembali belajar untuk menjadi Ibu yang baik…Tetap Semangat ! (chy-kh)



Bookmark and Share

Catatan dari Buku Catatan Hati Seorang Istri

Dari judulnya saja buku ini menarik hati saya untuk membacanya. Usai ‘Ngaji’ di Masjid Kampus UGM, di Pelataran masjid saya melihat buku ini.
"Berapa harganya, Pak?"
"39 ribu diskon jadi 31 ribu, Mbak. Itu buku terbarunya Asma Nadia", jawab bapak penjual.
Saya meletakkan kembali buku tersebut.
"Mahal amat. Beli di kawasan taman pintar mungkin lebih murah.", ujar saya dalam hati.
Tiga hari setelahnya, saya mengajak suami ke kawasan taman pintar untuk mencari buku karya Mbak Asma Nadia itu. Suami memang telah menyisihkan uang khusus untuk membelikan saya buku sebagai wujud dukungannya pada saya menjadi penulis.

Tiba di kawasan taman pintar, saya segera mencari kios buku langganan saya. Buku Catatan Hati berdiri manis di deretan buku terdepan, memudahkan saya untuk menemukannya tanpa bertanya pada si penjual. Tawar menawar pun terjadi, tidak berjalan a lot karena saya sudah menjadi langganan kios itu, harga pun disepakati, 25.000 rupiah !. Saya kegirangan, layaknya anak kecil saya memegang tangan suami dan menjerit pelan dengan ekspresif.

"Mas, lebih murah dari masjid kampus, di sana 31.000 rupiah, di sini 25.000!"
"Dua puluh enam ribu, Dek sama parkir" sahut suami kalem.
"O,iya..tapi tetap lebih murah"

Suami lantas mengambil sepeda motor di parkiran dan membayar parkir 1000 rupiah. Belum satu meter motor berjalan… suami berhenti, merasa ada yang aneh dengan motornya ia melihat ke belakang, rupanya bannya bocor !. Syukur-lah tidak jauh dari situ ada jasa tambal ban. Sembari menunggu, saya membaca buku.

Dua puluh menit kemudian, selesai sudah ban ditambal, suami mengambil motornya dan membayar.
"Berapa, Mas?" tanya saya pada suami dengan berbisik.
"Lima ribu. Tuh kan, harga bukunya jadi sama saja, 31.000". ujar suami seraya menjalankan motornya perlahan.
Saya tertegun dan menghitung-hitung, benar juga! Yaah… maunya untung, malah…

***
Buku Catatan Hati memang apik! Buktinya, setelah buku ditangan saya, mata saya tak ingin lepas sebelum selesai membacanya. Di atas motor menuju pulang, saya asyik membacanya dengan penerangan lampu-lampu kendaraan yang lalu lalang (beli bukunya malam hari), setiba di rumah membuatkan suami minuman, buku itu masih menemani saya, sesekali saya membacakannya untuk suami.

Catatan-catatan hati di dalam buku itu membuat saya teringat pada penderitaan yang sama yang di alami perempuan-perempuan disekeliling saya, salah satunya pada catatan yang oleh Mbak Asma di beri judul : Sebab Aku Berhak Bahagia. Oh, Mirip kisah Bude saya! Bedanya, Bude hingga sekarang masih tetap bertahan, tak ada perceraian meskipun anak-anak Bude (sepupu saya) sudah menikah dan sukses. Mengapa..? Karena Bude berprofesi hakim agung yang tugasnya mengetuk palu memberi keputusan. Harga dirinya terlalu tinggi jika suatu hari ia duduk di tempat sebaliknya, di kursi pesakitan menunggu hakim mengetuk palu pada seorang hakim!

Ah, coba Mbak Asma lebih banyak lagi menguak catatan hati isteri yang lain. Karena khususnya untuk yang mengalami hal yang serupa dapat membuka mata bahwa mereka tidak sendirian, juga menjadi lebih berani untuk merengkuh kebahagiaan yang menjadi hak mereka. Dan bagi isteri yang bahagia dengan pernikahannya dapat lebih bersyukur lagi pada Allah.
Saya juga, usai saya membacanya, saya memeluk suami mesra dan mencium keningnya, dalam hati bersyukur pada Allah, tapi lisan berkata, "Sayang…jangan seperti suami-suami dibuku ini yaaa…"



Bookmark and Share

Surat Untuk Sahabat

Teruntuk : Sahabatku

Di Bumi Allah



Bagaimana kabarmu sahabatku…? Telah lewat empat minggu kau tidak menghiraukanku. Sapaku tak kau balas, pesan-pesan singkatku tak kau jawab. Sejujurnya, aku kangen. Pada kebersamaan kita, pada canda tawa kita, pada perhatian dan kebaikan hatimu juga pada cerita-cerita sedihmu. Adakah kau merasakan rindu yang sama, sahabat…? Bila kau merindukannya, bukalah hatimu untuk memaafkanku, bila kau tidak, maka kau harus memaafkanku demi cintamu pada Yang Maha Pemaaf. Bukankah kau sangat mengetahui bahwa Dia membenci umat yang memutuskan silaturahim…? Empat minggu telah berlalu…sedang Rasul-mu memberi batas waktu tiga hari saja.

Sejak sms terakhirku, sikapmu berubah padaku. Sejak itu pula aku terus bertanya-tanya.

“Apakah sebuah kesalahan bila aku ingin menjadi cermin bagi dirimu, sahabatku…?”

Barisan kalimat yang kurangkai dengan sayang, semata ingin agar kau bangkit dari keterpurukan, membalut luka, menghapus air mata, untuk kemudian melangkah dengan kelapangan dada.

“Sahabatku, sekarang bukan lagi saatnya kau terus bertanya, mengapa ia begini? Mengapa ia begitu? Bertanya mengapa hanya akan menimbulkan prasangka-prasangka. Biarkan proses ta’arufmu berakhir dengan indah, dengan ucapan maaf dan terima kasih. Sekarang saatnya kau bertanya, apa yang akan kau kerjakan untuk hidupmu sementara jodoh itu belum datang…”

Ah, sahabatku…aku memang tak cukup arif untuk memberimu nasihat. Mungkin seharusnya aku tetap menjadi pendengar yang baik dan motivator bagimu. Tak sepatutnya aku menasihatimu di saat kepercayaanmu padaku belum lagi pulih. Yah…walau kau coba menguburnya jauh di dasar hatimu, aku dapat merasakan kepercayaan itu tidak mudah untuk kau hadirkan kembali setelah konflik yang terjadi di antara kita dua tahun yang lalu…

Malam itu, usai waktu maghrib, kau menangis di hadapanku, meluapkan seluruh perasaanmu dengan emosi yang tidak dapat kau kendalikan lagi. Kau marah, takut, kecewa dan sedih yang amat sangat…terhadap dosen pembimbing skripsimu yang menurutmu “killer”, suka membentak, dan mengolok-olok mahasiswanya. Kau mengaku selalu ketakutan bila akan menghadapnya dan berurai air mata usai menghadapnya. Ucapan beliau selalu menyakitkan hatimu.

Sahabat, kita mempunyai dosen pembimbing skripsi yang sama, namun apa yang kau rasakan terhadap beliau tidak pernah kurasakan. Aku tahu kenapa, karena kau mempunyai perasaan yang sangat ‘halus’. Kau sangat mudah mengeluarkan air mata (Itu telah kau akui), marah, sedih, kesal, kecewa, bahkan merasa bahagia pun kau menangis. Sering, penerimaanmu negatif pada ucapan orang lain. Ini yang kadang membuatku serba salah di hadapanmu, aku harus super hati-hati memilih kata-kata yang tepat agar dapat kau terima tanpa tersinggung dan berurai air mata. Dengan perasaan ‘halus’ seperti itu, aku dapat memahami bila kau mengaku trauma kembali menghadap dosen untuk konsultasi. Rasa takut itu ternyata terus membayangi langkahmu, menguasaimu hingga kau memilih menunda-nunda penyelesaian skripsimu.

Sahabatku, melihat air mata yang membanjiri pipimu malam itu membuat hatiku tesayat-sayat, betapa inginnya aku mengurangi bebanmu, membantumu kembali berpijak hingga sukses kau raih. Maka otakku pun bekerja mencari jalan keluar. Kemudian, sebuah solusi kutemukan.

***

Bapak (begitu kita menyebutnya) tertawa tak percaya begitu kuceritakan permasalahanmu. Beliau tak menyangka bila ada mahasiswa yang merasa bermasalah dengannya. Bapak memang seorang dosen yang bisa dikatakan dekat dengan mahasiswa, dan sangat perhatian dengan mahasiswa bimbingannya, bukan itu saja, beliau juga suka menolong mahasiswa dengan caranya sendiri yang mahasiswa itu tidak menyadari bahwa ia sedang ditolong Aku sedikit menyesalkan, mengapa kau tidak dapat mengabaikan kekurangan bapak yang kau katakana suka membentak, menyinggung perasaan orang lain dengan mengolok-olok? Bukankah melihat pada kebaikannya akan menjadikanmu merasa lebih baik…?

“Aku sudah berusaha mengingat kebaikan-kebaikan bapak, tapi tetap saja aku merasa sakit dengan sikap dan perkataannya…”

Baiklah kalau begitu, aku akan melakukan sesuatu untukmu, sahabat. Melepaskanmu dari rasa takut dan sakit itu, juga membantu bapak agar ia menyadari, ada hati yang terdzolimi oleh sikap dan perkataannya, hatimu sahabat…

“Kalaupun saya marah, itu bukan dari hati. Saya marah hanya di mulut saja, setelah itu ya sudah, saya lupakan”. Begitulah bapak menyatakan argumennya.

Aku mengerti. Sebagaimana dengan bapak, aku pun mempunyai karakter marah yang hampir sama. Aku akan menangis bila marah, air mataku tak mampu ku tahan. Bila telah menumpahkan seluruh hatiku dan semua alasan yang membuat aku marah, aku akan kembali tersenyum bahkan tidak ingat lagi dengan kemarahanku. Aku pun jadi lebih sayang pada orang yang membuatku marah sebagai tebusan rasa malu dan penyesalan atas kemarahanku.

Tapi tentu saja tidak setiap orang mempunyai karakter marah yang sama. Ada orang yang tidak mudah marah namun bila marah, sangat sulit untuk reda. Ada pula yang tidak mudah marah, mudah pula redanya. Dan ada kau, yang setiap kali marah lebhi suka memendamnya, bila terusik sedikit saja akan meledak seperti bom waktu. Maka dengan hati-hati kukatakan pada bapak.

“Ada sebagian orang yang perasaannya sangat ‘halus’, sehingga intonasi bicara bapak yang memang seperti itu diterima sebagai bentakan, gurauan bapak diterima sebagai olokan. Teman saya ini mempunyai perasaan yang sangat halus, mungkin bapak bisa sedikit merubah cara bicara bapak di depannya, supaya dia tidak takut lagi menghadap bapak…”.

Sahabatku, setelah pembicaraan itu, aku yakin sekali bapak akan berubah sikap, setidaknya di depanmu. Aku percaya, sebagai seorang pendidik tentu beliau tidak ingin anak didiknya gagal hanya karena takut padanya. Tapi alangkah terkejutnya aku ketika kata-kata ketus keluar dari mulutmu.

“Teganya kamu cerita masalahku ke bapak! Bapak itu karakternya memang seperti itu, sampai kapan pun dia tidak akan berubah!”.

Sahabat, seingatku aku telah meminta ijinmu, mungkin kau lupa sehingga reaksimu sedemikian berang. Wajahmu merah padam, sempat tersorot kebencian di matamu. Tiba-tiba aku merasa, setelah ini kau tidak akan mempercayai aku lagi…

***

Sahabat, dua tahun kemudian kau bercerita padaku, sejak peristiwa itu sikap bapak berubah. Bapak sangat ramah bila kau datang menghadapnya, beliau juga menurunkan emosinya segera begitu melihatmu datang, walau sebelumnya beliau tengah memarahi mahasiswa ‘bandel’ yang tidak mengikuti arahannya. Kau tidak harus takut dan menangis lagi, kau bisa berkonsultasi dengan nyaman, dan kau pun akhirnya dapat menyelesaikan skripsimu dengan nilai A.

Diam-diam aku bersyukur…

Namun, rasa sakit itu masih tersisa di hatimu. Kau masih mengungkitnya dan menyalahkan aku…

***

Sahabatku sayang…

Suatu hari, seorang sahabat berkata pada Rasulullah. “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku mencintai si Fulan”. Sahabat itu menunjuk pada seorang laki-laki yang berada tidak jauh dari tempatnya dan Rasulullah berdiri. Mendengar perkataan sahabat, Rasulullah menyuruh sahabat itu untuk mengatakan rasa cintanya itu kepada si Fulan.

Aku tak cukup punya keberanian untuk mendatangimu dan mengatakannya, sahabat… Lidahku selalu terasa kelu untuk mengatakannya. Maka biarlah goresan pena ini yang menyampaikannya padamu.

“Sahabat, aku menyayangimu karena Allah”

Dan rasa sayang itulah yang mendorongku untuk berjanji pada diriku sendiri ketika kau mengeluh padaku.

“Mengapa teman-teman yang sudah menikah sekarang jadi cuek, tidak peduli lagi pada keadaan saudaranya…?”.

Saat itulah aku berjanji dalam hati, bila saatnya aku menikah nanti, aku akan tetap peduli pada teman-temanku, Memberi ruang pada mereka di hatiku, dan selalu ada bila mereka membutuhkanku. Karena boleh jadi, pernikahan diijinkan Allah terjadi disebabkan oleh do’a saudara-saudara kita, sahabat-sahabat kita, yang dengan ketulusan mereka telah mampu membuka pintu langit. Allah mendengar, dan mengabulkan do’a mereka, kemudian mengirimkan jodoh untukku juga untukmu…

Untuk itulah sahabatku, sebisa mungkin kuluangkan waktu untuk mendengar keluhan-keluhanmu, bahkan terkadang aku terlalu ingin menyelam jauh ke dasar hatimu, yang kau tanggapi dengan dingin.

“Jangan kira kamu mengerti tentang aku”.

Kau benar sahabat, delapan tahun belumlah cukup untuk aku dapat mengerti dirimu…karena itu, ijinkan aku tetap di sisimu untuk berusaha lebih keras lagi belajar mengerti…Ijinkan aku membayar janjiku…

Sahabatku, maafkanlah aku, bukalah hatimu untuk kembali mempercayaiku, untuk kembali merajut persahabatan yang indah seperti dulu…


Dariku,
Sahabatmu





Bookmark and Share
 
Dear Diary Blogger Template