Tampilkan postingan dengan label Keteladanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keteladanan. Tampilkan semua postingan

DONAT

Siapa yang tidak tahu Donat ?
Kue yang mempunyai ciri khas bolong di tengah ini dapat dipastikan pernah dicicipi oleh setiap manusia di dunia. Dihidangkan pagi hari sebagai sarapan atau sore hari bersama keluarga dengan secangkir teh hangat, mmm enaaak…!

Apa yang saya nikmati dari kue donat bukan hanya “rasa” dan “kenyang” nya saja, namun lebih dari itu, ada persahabatan, cinta dan pengorbanan, silaturahmi, serta pelajaran yang berharga.

***

Persahabatan

Berawal dari suami yang meminta saya dibuatkan donat. Katanya pada saya,

“ Dek, bisa nggak buat donat ? Buatin, dong…”

Walaupun saya jawab dengan gelengan kepala, tapi permintaan yang di telinga saya terdengar sebagai tantangan itu membuat saya bertekad untuk belajar.

Pilihanpun jatuh pada sahabat saya, sebagai guru dalam mempelajari cara pembuatan kue donat. Sahabat saya sangat hobi membuat kue, saya pernah mencicipi kue-kue buatannya, dari nastar, brownies, black forest, dan tentu saja, donat. Rasanya ? Mak Nyusss…!

Akan tetapi, telah beberapa lamanya hubungan persahabatan kami menjadi renggang, dingin, dan kaku. Saya pun mulai mencoba mencairkannya kembali dengan bertanya soal kue dan memuji kue-kue buatannya, sahabat saya menanggapi dengan antusias, obrolan pun mengalir, kekakuan terkikis, diujung pertemuan sahabat saya berjanji akan mengajarkan saya membuat kue donat.

Kami berbelanja bahan-bahan donat bersama, di rumah saya kami olah bahan-bahan itu sambil saling bercerita dengan diselingi senda gurau. Hubungan persahabatan yang sebelumnya dingin pun kembali hangat. Dengan perantaraan donat persahabatan kami terikat kembali.


Cinta dan Pengorbanan

Saya mau buka rahasia. Jangankan membuat donat, mengolah masakan sehari-hari saja saya masih harus bolak-balik SMS ibu mertua, ibu saya, dan kakak perempuan saya.

“Apa saja bumbu sayur asam, bagaimana cara membuatnya ?”

SMS saya suatu hari pada kakak saya.

Ketika sahabat saya menyebutkan satu persatu bahan-bahan donat, saya hanya mengernyitkan kening, bingung. Jalan terbaik adalah dengan memboyong sahabat saya ke Supermarket agar menunjukkan langsung pada saya apa saja bahan-bahan donat yang dia maksudkan.

Pembuatannya walau dikatakan sebagai pembuatan kue yang paling sederhana, tapi bagi saya tetap saja ada perjuangan di dalamnya. Lelah ? Jelas… Sabar ? Harus…Namun bila dikerjakan dengan membayangkan wajah gembira orang yang akan menyantapnya, kelelahan dan ketidaksabaran serta merta lenyap ! Berganti dengan semangat !

Donat telah melahirkan rasa pengorbanan karena atas permintaan suami tercinta saya rela susah payah belajar demi untuk mempersembahkan yang terbaik untuknya atas nama cinta dan kasih sayang (Cieee…).
Silaturahmi

Dari 500 gram bahan donat, saya bisa menghasilkan sekitar 25 buah donat. Jumlah yang akan membuat “mabok” bila dimakan hanya berdua dengan suami. Maka saya pun membaginya dengan tetangga. Sebagai ibu rumah tangga baru, tetangga baru, dan pendatang baru, saya sedikit bingung harus memulai darimana untuk bisa menjalin silaturahmi dengan tetangga. Dengan menghantarkan sepiring donat pada tetangga, saling hantar-menghantar makanan pun terjadi. Dimulai dari donat buatan saya sendiri saya pun jadi lebih mengenal dan lebih dekat dengan tetangga.

Pelajaran Berharga

Suatu pagi ketika saya tengah membeli lauk matang pada pedagang keliling langganan ibu-ibu perumahan, seorang Nenek, yang cucunya adalah murid saya di TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) Masjid Perumahan, menyapa saya dengan penuh keakraban.

“ Mbak yang ajak cucu saya buat donat, ya ? Donatnya enak sekali ! Saya sueneng ada kegiatan yang baik untuk cucu saya. Diteruskan ya, Mbak ! Dua atau tiga minggu sekali anak-anak diajarkan buat kue !”

Hi…hi…hi…padahal saya baru bisa buat satu kue, yaitu donat !

Tapi kejadian pagi itu membuat saya tertegun. Rupanya ajakan saya pada anak-anak untuk membuat donat bersama menyimpan kesan yang mendalam di hati mereka. Semoga saja pendidikan dan pelajaran yang saya selipkan diantaranya sampai pula di hati mereka, diingat hingga mereka dewasa nanti, tidak penting mengingat “siapa” yang memberi pelajaran itu.

“Ibu punya kejutan buat kalian”. Ujar saya pada anak-anak.

Sesaat saya biarkan mereka riuh menebak kejutan yang akan saya berikan.

“Kita…akan…buat…donat bareng !!”

Sontak mereka berteriak kegirangan.

Suasana rumah saya yang biasanya lengang karena hanya dihuni oleh saya dan suami mendadak begitu ramai dengan celoteh anak-anak. Selama membuat donat mereka terus bercerita tentang teman mereka yang begini dan begitu. Saya berhenti sebentar dan menyuruh mereka diam, saya ajak mereka berlomba, siapa yang tahan paling lama untuk diam, tidak bicara dalam hitungan ketiga, Mulai ! Hasilnya ? Belum masuk hitungan menit mereka sudah tidak tahan untuk tidak bicara.

“Nggak enakkan kalau kita nggak bisa bicara ? Maka dari itu kita harus bersyukur karena kita bisa bicara, tidak bisu! Bagaimana cara kita bersyukur ? Mulut kita tidak digunakan untuk membicarakan kejelekan teman-teman kita…”

Anak-anak sesaat saling menuduh, saling menunjuk satu sama lain, tapi kemudian kompak menyetujui ucapan saya. Acara membuat donat pun dilanjutkan tetap dalam keceriaan.

Saya memberikan anak-anak kesempatan memasukkan bahan-bahan yang saya sebutkan satu persatu ke dalam wadah. Judulnya saja “Membuat Donat Bersama” jadi saya harus melibatkan mereka dalam pembuatan donat.

“Bu, bikin donat itu harus sabar, ya…“ Ujar salah seorang anak.

Bagi anak-anak, menunggu hingga donat matang dan mereka dapat segera mencicipi adalah sebuah latihan kesabaran. Setelah adonan jadi dengan girang mereka membuat bentuk donat mereka sendiri, juga menggorengnya sendiri dan kemudian memolesi bagian atasnya dengan coklat.

“Capek kan buat donat ? Nggak gampang ya ? Mulai sekarang, kalian harus lebih menghargai makanan. Kalau dimasakkan Mama harus dimakan dan dihargai karena Mama sudah capek-capek masak buat kalian”. Pesan saya sebelum mereka pulang dengan membawa masing-masing 5 buah donat di tangan, hasil karya mereka sendiri.

Dari satu ilmu membuat donat saya mendapatkan banyak hal, ini merupakan pelajaran yang berharga buat saya untuk tidak berhenti mencari ilmu selama nafas belum berhenti. Manfaatnya akan kita rasakan oleh diri kita sendiri dan dirasakan pula oleh masyarakat, bila kita mau berbagi. (chy-kh)



Bila Aku Disakiti

Temanku bertanya padaku,
“Bagaimana cara menyembunyikan kemarahan dan kekecewaan ?”

Aku tidak mau asal menjawab, aku pun mulai mengingat-ingat apa yang selama ini aku lakukan bila aku disakiti. Maka inilah jawabanku :

Pertama : Memaafkan
Boleh jadi orang yang menyakiti kita tidak berniat untuk menyakiti atau itu tidak sengaja menyakiti, bahkan boleh jadi saat itu kita sedang banyak masalah, kondisi psikologis kita sedang labil atau mungkin kita saat itu sedang bad mood sehingga perkataan atau perbuatan orang lain kita terima negatif. Kalaupun ternyata ia sengaja melakukannya maka berfikirlah ia sedang khilaf, ingat-ingatlah segala kebaikan yang ada pada dirinya, berfikirlah bahwa ia tidak/belum memahami siapa diri kita yang sesungguhnya, atau… boleh jadi kita yang terlebih dahulu menyakitinya ?

Intinya adalah berfikir positif dan introspeksi diri akan membantu kita untuk lebih mudah memaafkan. Kemarahan hanya akan melenyapkan kebahagiaan sedang memaafkan akan selalu mendatangkan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa kita pada kebahagiaan.

Kedua : Bicarakan
Jika kita belum juga bisa memaafkan, kita masih saja sakit hati dengan perkataan atau perbuatannya, kita masih merasa marah dan kecewa, maka bicarakanlah persoalan itu kepada yang bersangkutan, bicarakan dengan hati tenang dan sikap arif. Seperti kita yang mempunyai alasan untuk marah, kesal atau kecewa, pasti ia mempunyai alasan membuat kita dalam kondisi seperti itu. Ungkapkan perasaan kita dan mintalah penjelasan padanya.

Jangan ragu dan takut. Karena melakukan hal ini berarti kita tengah membuat dua kebaikan.
Kebaikan pertama pada diri kita sendiri. Agar kita tidak lagi merasa marah, kesal dan kecewa yang sudah pasti menyebabkan hati kita tidak lagi merasa tenteram, hati kita terjangkiti penyakit, tak lagi bersih dan suci.Kebaikan kedua pada diri orang yang menyakiti kita. Membicarakan artinya kita membantu ia mengetahui kesalahannya sehingga ia dapat memperbaiki diri.

Adalah tidak adil bagi diri kita dan dirinya bila kita memendam kemarahan dan sakit hati sedang ia sama sekali tidak mengetahui. Maka berbuat adillah, bicarakan padanya apa yang kita rasakan atas perkataan dan perbuatannya niscaya hati kita akan menjadi sangat lapang untuk memaafkan sehingga tak ada lagi kemarahan apalagi dendam.

Dengan melakukan dua hal tersebut kita tidak perlu lagi menyembunyikan kemarahan dan kekecewaan. Tak perlu lagi bersandiwara dengan bersikap manis padahal hati kita memendam kekesalan., yang ada hanya ketulusan, ketulusan dan selalu ketulusan atas setiap perkataan dan sikap kita…








Tukang Parkir yang Istimewa

Ada yang istimewa dari tukang parkir di pasar tempat saya biasa berbelanja, yang jelas sangat berbeda dengan tukang parkir lainnya. Bila di tempat parkir lain pada umumnya tukang parkirnya tidak ramah. Selain itu tukang parkir juga seringkali asal-asalan dan tidak hati-hati dalam memarkirkan kendaraan, kendaraan jadi lecet-lecet karena berbenturan dengan kendaraan orang lain ketika di parkirkan.

Saya punya pengalaman buruk dengan tukang parkir. Saya di damprat oleh tukang parkir karena tidak sengaja menghilangkan karcis parkir, tidak cukup dengan melihat STNK motor, saya masih di mintai kartu identitas dan di catat pula oleh si bapak tukang parkir disertai omelan yang tidak ada hentinya. Bagus sih, itu artinya tukang parkir tersebut merasa bertanggung jawab atas kendaraan yang diparkirnya, tapi sikapnya itu lho, sungguh tidak mengenakkan! L

Pernah juga saya di mintai uang dengan kasar oleh tukang parkir karena saya membayar jasanya kurang dari yang seharusnya, bukan maksud saya mengambil hak orang lain, tapi saya tidak tahu bila parkir di tempat itu lebih mahal dari biasanya.

Namun begitu masih ada juga tukang parkir baik hati yang saya temui.

Ketika mengambil uang di ATM, saya baru ingat selain uang pecahan Rp 50.000 yang saya ambil dari ATM saya tidak mempunyai uang se rupiah pun! Dengan malu saya meminta maaf pada tukang parkir, dan tukang parkir yang baik hati itu pun memaklumi dengan ikhlas.

Yang paling istimewa dan membuat saya merasa diistimewakan (baca: dihargai) adalah ketika memarkir sepeda motor di pasar tempat saya berbelanja. Ada tiga tukang parkir yang bertugas, ketiganya ramah, sopan dan santun. Begitu kendaraan memasuki gerbang area parkir, mereka siaga menyambut, mengambil alih sepeda motor dari tangan saya dan memarkirkannya dengan hati-hati, saya pun dapat berbelanja dengan tenang. Usai berbelanja dengan barang bawaan yang cukup berat, tukang parkir dengan sigap membantu begitu saya terlihat di gerbang area parkir dan tanpa diminta mempersiapkan pula sepeda motor saya. Bukan itu saja, ketika saya kesulitan menstarter sepeda motor, dengan sopan tukang parkir meminta saya memberinya kesempatan untuk dapat membantu.

Perlakuan demikian tidak hanya diberikan pada pengguna sepeda motor yang umumnya adalah pembeli di pasar itu, tapi juga pada pengguna sepeda “ontel” yang kebanyakan adalah pedagang sayur keliling yang ingin kulakan di pasar tersebut. Sehingga dapat dilihat keramahan, kesopanan dan kesantunan mereka berikan pada setiap orang tanpa memandang “Apa” dan “Siapa”.

Begitu pun dalam menarik uang parkir, (mmm…tidak, seingat saya mereka tidak pernah meminta uang parkir, seringkali saya yang memanggil mereka untuk memberikan upah), mereka dengan ikhlas menerima berapa pun rupiah yang diberikan, tanpa sungutan dan tanpa pelototan. Saya pun merasa senang memberikan upah lebih pada mereka.

Saya jadi teringat gambaran Aa’ Gym tentang tukang parkir. Tukang parkir yang selalu ikhlas melepaskan kendaraan yang dijaganya, karena ia tahu bahwa kendaraan itu bukan miliknya, namun mereka lebih istimewa dari tukang parkir yang digambarkan oleh Aa’ Gym. Mereka tidak hanya ikhlas melepaskan kendaraan yang memang bukan miliknya, tapi juga mampu membuat orang lain merasa dihargai dengan sekecil apapun yang dapat mereka berikan, dan dengan begitu mereka menjadi tukang parkir yang berharga.(chy-kh)

Bookmark and Share





Penjual Lotek dan Bayinya

Kemarin siang sewaktu saya membeli Lotek (makanan sejenis pecel), saya sempatkan ngobrol dengan ibu penjualnya. Seorang ibu muda dengan satu orang anak dan sedang hamil anak keduanya, tapi hari itu saya melihat perut ibu tersebut telah mengempis, ternyata ia telah kehilangan janinnya yang berusia enam bulan, meninggal dalam kandungan. Saya tidak begitu terkejut sebab dari melihat bagaimana si ibu bekerja seharian menjajakan dagangannya di atas kepala dengan berjalan kaki dalam jarak yang jauh padahal dalam kondisi hamil muda, pastinya akan mengancam keselamatan janin di kandungannya, terlebih ia tidak punya cukup uang untuk memenuhi gizi dirinya dan janin yang dikandungnya.

Sebenarnya saya sudah mengingatkan si ibu waktu usia kandungannya 3 bulan agar banyak beristirahat di rumah, tapi jawaban si ibu membuat saya tak mampu berkata-kata,

“Kalo ndak jualan ya ndak bisa makan, saya ini kan orang miskin, Mbak”

Sebuah pilihan yang dilematis, antara uang dan nyawa dirinya atau bayi dalam kandungannya. Jika tidak bekerja, ia dan keluarga tak dapat makan hari ini, tak punya biaya untuk memeriksakan kandungan, terlebih biaya untuk persalinan dan kebutuhan bayi bila lahir nanti, sedang bila berjualan berkeliling resiko berbahaya pada kandungannya dapat terjadi setiap saat.

Amat mudah bagi orang lain memberikan saran, namun tuntutan hidup tak mudah untuk dipenuhi, terkadang memaksa kita membuat sebuah pilihan yang teramat sulit, dengan harapan kesulitan hari ini akan berganti kelapangan di kemudian hari. Saya percaya, si ibu bekerja keras menjajakan dagangan dengan mengusungnya di kepala, berkeliling dari satu tempat ke tempat lainnya bukan karena tak mengkhawatirkan kondisi calon anaknya, namun untuk mengumpulkan uang demi memenuhi gizi bayi dalam kandungannya, memeriksakan kandungannya secara rutin, membiayai persalinan dan memenuhi kebutuhan bayinya nanti. Ini lah ketangguhan seorang wanita dan pengorbanan seorang ibu.(chy-kh)

Bookmark and Share



 
Dear Diary Blogger Template