Hikmah dari Sebatang Pohon

Di halaman depan rumah saya terdapat sebatang pohon belimbing. Pohon tersebut selalu berbuah tak kenal musim. Buahnya besar, kuning dan manis rasanya, terasa begitu segar dinikmati saat cuaca panas, sarinya yang melimpah mampu melenyapkan dahaga yang mencekik kerongkongan..

Bukan hanya buahnya, batang pohonnya yang kokoh dengan dedaunan yang rimbun dijadikan sebagai tempat berteduh bagi para pedagang yang letih menjajakan dagangannya. Angin yang meniup dedaunannya menghadirkan suasana sejuk bagi mereka yang beristirahat di bawahnya. Saya lantas berfikir, berapa banyak pahala yang mengalir bagi orang yang menanam pohon itu. Buah dari pohon itu seakan tak habis-habis untuk dinikmati oleh orang banyak, dari buah belimbing yang saya bagikan pada tetangga, menjadi jalan untuk membangun silaturahmi. Dari rimbunnya dedaunan, menjadi tempat para pedagang berhenti sejenak, dan tempat bermain yang asyik bagi anak-anak. Dari sebatang pohon di halaman depan rumah, menjadi ladang amal buat saya.

Namun belakangan, saya mulai mengeluh dengan daun dan buahnya yang berjatuhan mengotori halaman rumah. Saya harus beberapa kali dalam sehari menyapu halaman. Pagi-pagi halaman sudah kotor oleh daun dan buah busuk yang berjatuhan, belum lama setelah disapu, halaman sudah kotor lagi, begitu seterusnya. Uh, capek rasanya. Tetangga pun mengeluh karena halaman rumah mereka ikut kotor. Mereka harus mengeluarkan tenaga lebih untuk sering menyapu agar lingkungan perumahan tempat tinggal kami selalu terlihat bersih.

Demikianlah tabiat dasar manusia, suka berkeluh kesah. Saat ditimpa sedikit saja kesulitan, kita berkeluh kesah dan lupa akan semua kelapangan, kesenangan dan kenikmatan yang telah kita rasakan. Lupa dengan segar dan nikmatnya buah yang dihasilkan oleh pohon tersebut. Lupa dengan kesejukan angin yang dihadirkan oleh lambaian dedaunannya. Padahal, rasa letih dan susah payah menyapu halaman tidak seberapa bila dibandingkan dengan apa yang telah diberikan oleh pohon tersebut. Dan lagi, sedikit kepayahan dan keletihan itu tidak lain adalah untuk kebaikan kita sendiri, yaitu terhindar dari penyakit yang ditimbulkan oleh sampah.

Pada segala kenikmatan yang Allah berikan pun seringkali kita lupa. Ketika Allah memberikan sedikit ujian, kita mengeluh dan bertanya, “Apa dosa saya ?, apa salah saya ?”. Padahal bila kita renungkan, kesulitan yang kita hadapi hanya-lah seujung kuku bila dibandingkan dengan beribu-ribu nikmat yang kita dapatkan.

Bila kita mendapatkan kelapangan rejeki dari Allah, maka disaat yang sama ada orang lain yang kesulitan untuk mendapatkan segenggam beras. Seharusnya kita bersyukur.

Bila kita mempunyai pasangan yang soleh/solehah, maka disaat yang sama ada orang lain yang pasangannya tak setia dengan akhlaq yang buruk. Seharusnya kita bersyukur.

Bila kita mempunyai kaki untuk berjalan, mata untuk melihat, tangan untuk berbuat, tubuh yang sehat, maka disaat yang sama ada orang lain yang tidak memiliki kaki, mata yang buta, tangan yang buntung, tubuh yang tak berdaya karena digerogoti penyakit. Seharusnya kita bersyukur.

Mungkin kita telah bersyukur, segala nikmat yang ada pada diri kita telah kita syukuri, namun seringkali rasa syukur itu lenyap tak berbekas bila Allah memberi kita sedikit ujian, kita lupa bahwa ujian-pun merupakan nikmat dari Allah yang harus kita syukuri. Marah, kesal, berkeluh kesah. Kita merasa orang yang paling tidak beruntung, orang yang paling menderita dan sengsara. Kita tidak menyadari bahwa ujian, sedikit kepedihan, sedikit kesengsaraan dan penderitaan akan membawa kita pada kenikmatan yang lebih besar. Kita akan tahu betapa nikmatnya merasa bahagia, betapa nikmatnya rasa syukur setelah merasakan kesusahan dan penderitaan. Kita akan tahu bahwa ujian yang kita alami adalah antibody yang nantinya akan membuat kita lebih kuat. Dan kita akan tahu bahwa Allah memberikan kita ujian tidak lain adalah untuk kebaikan diri kita sendiri. (chy-kh)




Bookmark and Share

Tawakkal : Kepada Siapa ?



Bila jiwa tak tersentuh kesabaran dan keikhlasan ketika bertemu kegagalan,
tak ada salahnya kita bertanya pada relung hati kita.
Kepada siapakah aku bertawakkal…?

Pernahkah anda merasa teramat kecewa ketika anda telah berusaha sekuat tenaga namun hasil yang anda dapatkan tidak sesuai harapan…?
Pernahkah anda bertanya-tanya mengapa anda selalu gagal padahal anda telah berusaha dan berusaha?

Jika anda pernah, saya pun pernah. Mungkin pengalaman saya berikut ini dapat bermanfaat buat anda. Semoga.

Masa-masa menyelesaikan kuliah sungguh sangat berat buat saya, bagaikan membawa sepuluh ton karung pasir di atas punggung!.
Jika anda melihat keong yang berjalan dengan sangat lambat ke tempat yang dituju, mungkin begitulah saya.

Bagaimana tidak, setiap kali hasil ujian semester diumumkan saya selalu menemukan nilai D pada 2 hingga 3 mata kuliah. Itu artinya saya harus mengulang kembali pada semester pendek atau semester reguler bersama adik-adik tingkat. Belum lagi mengulang nilai C yang merupakan nilai dominan di KHS saya, untuk menambah jumlah IPK, tentunya. Setiap ada kesempatan untuk mengulang mata kuliah tak pernah saya lewatkan.

Bodoh? Saya yakin tidak. Walau kadang merasa 'bodoh' itu mampir juga di otak saya disaat saya harus mengulang 3 atau 4 kali untuk 2 mata kuliah yang tersulit di fakultas. Tapi saya yakin saya tidak bodoh, apalagi idiot. Saya hanya tidak mampu bersahabat dengan bidang yang saya pilih. Sulit sekali bagi saya memfokuskan diri pada penjelasan dosen di depan ruang kelas. Ketimbang membaca buku-buku kuliah yang tebal, koran dan buku-buku psikologi lebih menarik hati saya. Kerap terjadi, ketika belajar di perpustakaan dengan buku kuliah di tangan, mata dan tangan saya tak sejalan. Buku kuliah ditangan, tapi mata membaca buku-buku lain hingga tanpa terasa waktu berlalu begitu saja.

Begitupun pada saat ujian, untuk mata kuliah diluar bidang saya, saya hanya perlu membaca 2 kali saja untuk bisa memahami mendapatkan nilai yang memuaskan. Tapi bila belajar untuk mata kuliah yang berkaitan dengan bidang saya, jungkir balik, susah payah, mandi keringat bercampur air mata, entah apalagi yang bisa menggambarkan kerja keras saya untuk belajar.
Puncak dari itu semua, disaat jatah semester kuliah telah habis, semester melayang. Di saat itulah puncak kejenuhan dan kelelahan. Jenuh, karena harus mengulang dan mengulang lagi. Lelah, karena dengan pengulangan beberapa kali, saya merasa sudah paham dan telah menguasai mata kuliah tersebut, tapi tetap saja gagal...

Patah semangat? Sering! Terkadang terfikir untuk mundur saja, tapi mengingat saya telah berada di ujung dan hampir tiba di tujuan, mengingat perjuangan saya melangkah setapak demi setapak hingga tinggal sedikit lagi menuju kemenangan, mengingat pengorbanan Ayah-Ibu, biaya yang tidak sedikit yang telah mereka keluarkan, tidak ada pilihan lain, saya harus tetap maju!.

Tapi mengapa kegagalan demi kegagalan begitu akrab dengan saya...? Mengapa nilai D begitu cinta pada saya...?

Ayah selalu menasihati,
"Makanya, jangan malas belajar! Jangan lupa berdo'a, terus tawakkal!" Dan saya selalu berkilah, "Sudah kok...!"

Saya tidak bohong, saya memang sudah belajar keras, apalagi di saat-saat semester melayang ini, di saat Ayah-Ibu mulai rewel bertanya, "Kapan dong lulusnya...?". Begitupun dengan tiap orang yang mengenal saya, selalu menanyakan hal yang sama bila bertemu. Berdo'a? Saya pun sudah melakukannya, dalam tahajud dan dhuha, ditambah dengan berpuasa sunnah. Tawakkal? Bukankah merupakan keharusan bagi kita berpasrah diri pada Allah menyerahkan keputusan terbaik pada-Nya setelah kita berusaha...?

Tak tahan, saya sering menangis bila masih juga menemukan nilai yang sama di KHS saya, putus asa sempat menghampiri. Mengapa?, mengapa?, dan mengapa?.. Akhirnya saya memilih muhasabah diri, mengoreksi ikhtiar dan tawakkal saya. Hingga kemudian saya teringat pada kata-kata yang ditulis di sebuah buku mengenai tawakkal : Hati-hati dengan tawakkal kita. Bukan bertawakkal pada Allah tetapi pada usaha yang kita lakukan.

Betapa sering saya menggerutu bila nilai ujian yang saya dapatkan ternyata tak sebagus yang saya kira, padahal ketika ujian, saya yakin akan mendapat nilai bagus karena saya sudah berusaha keras dengan belajar dan belajar. Mungkin inilah yang dinamakan tawakkal pada usaha...

Tawakkal pada Allah akan melahirkan kesabaran serta keikhlasan dalam menerima apapun keputusan Allah, menerima dan meyakini bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik. Manusia wajib berusaha, Allah jua yang menentukan.

Subhanallah…betapa seringnya saya mendengar dan membaca tentang tawakkal, namun betapa sulit mengaplikasikannya...Terkadang merasa yakin akan memperoleh kesuksesan atas potensi diri namun lupa bahwa Allah adalah Sang pemiilik kesuksesan dan yang memberikan kesuksesan itu. Ujungnya, kecewa, amarah, dan berputus asa bila ternyata kegagalanlah yang menghampiri...

Bangkit dari kegagalan, saya pun memperbaiki tawakkal saya. Hingga detik-detik menjelang pukul 12 siang penutupan yudisium saya memaksimalkan usaha dengan segala daya dan upaya, tak terfikir apapun kecuali berusaha maksimal hingga tetes darah penghabisan, lulus atau tidak lulus biar Allah saja yang menentukan...

Dan...Allahu Akbar! Saya lulus! Rasa syukur yang tak terkira karena telah lewat masa masa ujian intelektual, hati, iman, dan seluruh daya saya selama menjadi mahasiswa. Walau lulus dengan IPK pas-pasan, semoga di mata Allah saya lulus dengan predikat cumlaude, amin! Dan, tidak hanya kelulusan yang Allah hadiahkan untuk saya, tetapi juga sebuah pekerjaan, pada pengajuan lamaran kerja saya yang pertama, sebulan setelah menyandang predikat sarjana. Sungguh, Allah Maha Besar! (chy-kh)



Bookmark and Share

Dimana Bahagia Berada

Adalah seorang Rima, datang mengadu pada sang Ayah dengan membawa segunung beban yang menghimpit dadanya. Di biarkannya air matanya mengalir demi untuk melepaskan sesak yang terus menerus mendera batinnya. Persoalan demi persoalan bagai bayangan yang mengikuti kemana pun ia melangkah. Sebuah pertanyaan mengandung keputus asaan di ajukannya pada sang Ayah,
“Ayah…Di manakah bahagia itu berada? Apakah di langit ke tujuh? Ataukah di Surga? Bila bahagia berada sejauh itu, mengapa orang lain dapat merasakan bahagia sedang anakmu tidak ?”.

Rima tidak sendirian, ada ribuan bahkan jutaan Rima yang putus asa dalam pencariaannya menuju bahagia. Bahkan tidak sedikit yang mengambil jalan pintas menyelesaikan persoalan hidupnya dengan jalan mengakhiri hidup, padahal bunuh diri justru akan menambah berat persoalannya di akhirat, ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya di hadapan Sang Pemilik Kehidupan.

Apakah Anda bahagia?

Cobalah pertanyaan itu kita ajukan pada batin kita yang terdalam. Mungkin ia akan menjawab “Ya”, ketika teringat pada perekonomian yang telah mapan, pada kehidupan rumah tangga yang harmonis, pasangan yang baik dan setia, anak-anak yang lucu. Ah… lengkap sudah kebahagiaan anda. Namun coba bayangkan bila semua itu tiba-tiba hilang dari diri anda. Pasangan yang anda cintai mendahului anda menghadap Pencipta-nya, atau… seorang anak anda sakit yang sangat parah!. Mungkinkah anda masih merasakan bahagia…?

Seorang disebut orang yang bahagia bila dalam keadaan senang atau pun susah, lapang maupun sempit ia tetap merasa bahagia. Sedang seorang yang merasakan bahagia hanya ketika kelapangan memenuhi hidupnya, ia adalah seorang yang memiliki kebahagiaan. Bila kelapangan itu berganti kesempitan, bahagia itu akan hilang dari dirinya.

Maka kunci utama menjadi orang yang bahagia adalah dengan menciptakan bahagia itu di hati kita melalui rasa SYUKUR. Ya ! bahagia itu ternyata tidak perlu di cari, namun ia dapat kita ciptakan atau hadirkan di hati kita.

Rasulullah SAW memberikan teladan kepada kita untuk selalu mengucapkan “Alhamdulillah” sebagai tanda syukur kita. Dengan memaknai “Alhamdulillah” tidak hanya dengan lisan juga dengan hati kita yang sungguh-sungguh meyakini bahwa apa yang terlihat sempit belum tentu sempit, sebaliknya yang terlihat lapang belum tentu lapang.

Kebahagiaan itu tak dapat di ukur oleh apa pun, tidak oleh materi, tidak oleh kecantikan dan ketampanan fisik, tidak pula oleh kedudukan ataupun jabatan. Kebahagiaan itu ada karena rasa syukur terhadap apa-apa yang ada dan tidak ada pada diri kita, pada apa yang ada dan tidak kita miliki. Tak sedikit orang yang tak memiliki harta, hidup selalu dalam kemiskinan dan penderitaan namun ia merasa bahagia. Dan tak sedikit pula orang yang bergelimang dengan harta, jabatan atau ketenaran namun tak sedikit pun merasa bahagia, hidupnya gelisah, stress, kemudian mencari bahagia dengan mengkonsumsi narkoba yang akan memberikannya kebahagiaan sesaat yang semu.

Maka mulailah memaknai “Alhamdulillah” dengan mengingat segala kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada kita. Dia telah memberikan nikmat-Nya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Dia memberikan kita udara hingga kita dapat bernafas. Dia memberikan kita mata, hidung, kaki dan tangan. Kita berada dalam kenikmatan yang tiada tara namun sering kita tidak menyadarinya. Seringkali kita menghabiskan waktu kita memikirkan sesuatu yang tidak ada sehingga lupa mensyukuri yang sudah ada. Sesungguhnya yang demikian itulah yang akan menghalangi kebahagiaan itu hadir di hati anda. Dengan mengingat segala kenikmatan yang Allah berikan pada Anda, memaknainya dengan “Alhamdulillah”, dan berbagi kenikmatan pada orang-orang disekitar anda -tidak selalu dengan harta yang anda miliki-, dengan senyum ketulusan, dengan kebaikan pekerti anda, dengan kasih sayang anda pada sesama makhluk, anda pasti akan menjadi orang yang berbahagia lahir dan bathin! (chy-kh)



Bookmark and Share

Karena Dirimu Perhiasan Terindah

Wajah Rahma tersaput kabut. Gelisah hatinya tak mampu ia singkirkan. Meski telah berusaha tak memikirkan sindiran kakak-kakak ipar, namun tetap saja sindiran itu mengganggu perasaannya yang halus.

Belum genap satu tahun Rahma meninggalkan rumah kedua orang tuanya menuju Jakarta. Bersama gadis ciliknya yang baru berumur dua tahun, Rahma menyusul sang suami yang telah lebih dahulu tinggal di Jakarta untuk mencari pekerjaan. Enam bulan sudah mereka hidup terpisah. Setelah suami memperoleh pekerjaan tetap barulah Rahma bersama gadis ciliknya menyusul ke Jakarta.

Di Jakarta, Rahma tinggal bersama keluarga besar suami. Ada banyak kamar di rumah itu, setiap kamar berisikan kakak-kakak ipar dan keluarganya. Sisa kamar yang lain disewakan pada orang lain. Rahma dan gadis ciliknya menempati kamar suami. Hanya kamar sempit itu privasi mereka. Dapur dan kamar mandi digunakan bersama. Tak ada ruang tamu maupun ruang keluarga.

Kakak-kakak sang suami, mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan yang selama ini di anut Rahma. Konsumtif dan Pragmatis, demikian gaya hidup yang di anut oleh keluarga besar suami, dan sedikit banyak juga mengalir dalam darah sang suami. Namun, karena ketaqwaan sang suami-lah gaya hidup konsumtif dan pragmatis itu tak terlalu meluap keluar. Apalagi di saat seperti ini, saat-saat dimana kondisi perekonomian keluarga mereka masih labil. Gaji suami yang belum lama bekerja dan masih berstatus karyawan kontrak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan susu si kecil. Dengan kondisi begini tak mungkin mengikuti gaya hidup konsumtif kakak-kakak sang suami. Kalaupun perekonomian keluarga mereka stabil, Rahma tetap tak berminat menganut gaya hidup demikian.

Perbedaan gaya hidup. Ini-lah yang kemudian menimbulkan ketidakcocokan antara Rahma dan kakak-kakak iparnya. Hampir setiap hari kakak-kakak iparnya berbelanja barang baru. Bukan masalah bagi Rahma. Tak sedikitpun rasa iri terlintas di hatinya bila kakak-kakak ipar memamerkan barang belanjaan mereka. Menjadi masalah bagi Rahma, bila kakak-kakak iparnya itu mulai menyindir dirinya yang hampir tak pernah berbelanja.

Seperti hari ini, kakak-kakak ipar menyindirnya karena tak satu pun perhiasan emas yang menggantung di pergelangan tangan ataupun lehernya. Hanya sebuah cincin nikah saja yang melingkar di jari tengahnya, itu pun pemberian ibu mertua. Begitu pula gadis ciliknya. Tak satupun perhiasan emas menghiasi anggota tubuh gadis ciliknya itu.


Semula Rahma tak peduli, namun karena tak sekali dua kali kakak-kakak ipar menyindirnya, mau tak mau, suka tidak suka, Rahma hanya dapat berdiam diri walau hati teriris-iris.

"Apakah... Perempuan harus memakai perhiasan....?". Tanya Rahma pada sang adik yang tengah berkunjung dari perantauannya di Yogya. Namun pertanyaan Rahma lebih mirip sebuah gumaman. Sang adik, yang seketika menangkap kegelisahan dan kesedihan di hati kakaknya mencoba ber-empati.

"Ada apa, Kak...?". Tanya sang adik penuh perhatian. Rahma menghela nafas berat sebelum menjawab.

"Kakak-kakak ipar. Sering nyindir kakak dan keponakanmu karena nggak pernah pakai perhiasan...".

Sang adik menatap wajah kakaknya. Ia dan kakak sejak kecil saling menyayangi. Selisih usia yang terpaut cukup jauh membuatnya merasa puas dengan kedewasaan dan sifat keibuan sang kakak. Bila ia menangis, kakak akan menghapus air matanya. Bila ia mengantuk, kakak membuainya dengan dongeng sebelum tidur. Kakak juga yang melatihnya melafalkan huruf "R" sehingga lidahnya tak lagi cedal bila membunyikan huruf itu. Dan ketika ia memasuki usia baligh, kakak lah yang mengajarkan dirinya menutup aurat. Kini, sang kakak terlihat kuyu di hadapannya. Betapa inginnya ia menghapus kegalauan hati sang kakak.

"Kenapa harus pakai perhiasan, tanpa perhiasan pun kakak adalah perhiasan yang paling indah...".

Rahma terpana mendengar ucapan sang adik. Kata-kata sang adik yang baru saja didengarnya bagaikan embun yang menyejukkan jiwanya. Ingin sekali lagi ia mendengarnya.

"A..Apa, Dik?", Tanya Rahma. Sang adik menghadapkan tubuhnya pada Rahma untuk memperjelas ucapannya.

"Wanita Sholehah itu kan sebaik-baiknya perhiasan, Kak…jadi kakak nggak perlu sedih karena nggak pakai perhiasan. Perhiasan itu ada dalam diri kakak. Lebih indah malah..".

Mendengar perkataan sang adik, wajah Rahma berubah cerah. Rasa percaya dirinya kembali mengembang. Sang adik telah menghempaskannya pada sebuah kesadaran. Untuk apa sibuk memikirkan dan mengumpulkan perhiasan dunia, bukankah lebih baik sibuk memperbaiki diri serta meningkatkan kualitas ibadah agar menjadi wanita sholehah? Bukankah wanita sholehah adalah perhiasan yang lebih indah dari perhiasan manapun di dunia? Tak perlu emas dan permata untuk percaya diri. Tak butuh berlian untuk tampil mempesona. Kesholehan telah mencakup itu semua.


Rahma tersenyum manis. Senyuman termanis yang pernah sang adik lihat.

"Terima kasih, adikku...".

Kakak beradik itu pun berpelukan.


Dunia adalah perhiasan.

Dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholehah




Bookmark and Share

Ajari Aku

Ilahi...
Ajari aku mencintai tanpa berharap dicintai,
Ajari aku memahami tanpa berharap dipahami,
Ajari aku memberi tanpa berharap diberi,

Cukuplah semua itu sebagai rasa syukurku padaMu...
 
Dear Diary Blogger Template